CERITAKU

Orange from an Angel

"Pada berbagai tahap kehidupan kita, tanda-tanda cinta yang kita temui itu beragam: ketergantungan, daya tarik, kepuasan, kecemasan, kesetiaan, kesedihan, tetapi di dalam hati, sumbernya selalu sama. Manusia mempunyai sedikit sekali kemampuan untuk saling berhubungan dengan sesamanya, mensyukuri apa adanya.".
Dia berdiri dengan mata menatap ke depan, kepala yang tegak. Ketika dia kulihat, aku bicara, dan dia menangkap pandanganku. Dia cantik dan manis, cahaya di matanya terlihat olehku yang tak pernah kutemukan sebelumnya. aku berkata, "kamu jurusan apa?." Begitu sangat ku tak sopan.
Dengan lembut dia menjawab tanyaku, "matematika." Aku terus berjalan dalam kesunyian dan kebingungan yang memunculkan bibit pertanyaan dalam diriku, perempuan ini yang tak kuketahui siapa namanya telah membawa hatiku pergi jauh, entah ke mana.
Aku menatap pada kedua matanya, mengamati sebuah harapan yang tak akan pernah sirna, kataku dalam hati, "Bagaimanakah perasaan laki-laki yang memilikinya? Bagaimanakah perasaan laki-laki yang telah mendapatkannya?” Beberapa waktu kemudian kudapati jawaban itu tak akan pernah ada, dan tak akan kutelusuri karena mungkin tertutupi oleh senyumnya yang terpikirkan!
Aku ingat ketika aku pertama kali mengamatinya dengan teliti. Pikiranku mengembara entah ke mana. Antara kagum, senang, dan rasa bahagia yang tak terkira. Kupikir sudah sewajarnya aku memberikan penghargaan pada seorang perempuan yang terlahir sebagai seorang manusia dengan kesempurnaan yang melekat pada dirinya. Tidak hanya itu, ia juga memiliki mata yang jauh lebih indah dari yang lainnya, dengan naungan alis yang tipis tumbuh di atasnya. Kulit wajahnya begitu halus dan indah walaupun aku tak pernah menyentuhnya, jilbabnya yang menutupinya seperti langit terbentang tanpa awan, dan senyumnya begitu manis nan indah.
Suatu hari aku meminta ia untuk menemuiku, mungkin karena kuingin melihat wajahnya lagi. Dan keesokan harinya ia datang menemuiku di jurusanku, dan saat itu ia melambaikan tangannya yang beriringan senyum manisnya padaku saat ia melihatku. Alangkah ku sangat malu saat meperkenalkan teman-temanya padaku, mungkin karena penampilanku yang ngentrik abis, tapi tak mengapa karena di pikiranku tertanam bahwa “aku jelek tapi aku bangga”. Aku baru sadar  kusangat bahagia hanya karena dia menemuiku. Sejujurnya rasa bahagiaku hanya sebetik rasa yang di berikan Allah padaku. Mengapa Allah menciptakan makhluk yang begitu sempurna seperti ini, tanyaku dalam hati. Biarlah, Allah Maha Tahu. Tapi ya Allah, betapa bahagia ketika aku melihat ia tersenyum.
Rupanya ini alasannya. Rupanya ini yang membuatku bahagia jika bertemu dengannya. Sebuah pengakuan. Pengakuan sebagai manusia meskipun dekat dari kesempurnaan fisik dan mental yang seharusnya dimiliki.
Ini memang sangat membahagiakan. Aku menyelami perasaanku, tapi aku juga tahu mengapa Allah mempertemukanku dengannya. Mungkin aku berlebihan memuji dia.
Aku berusaha untuk berhubungan dengannya, selalu dan sebisaku. Belakangan ini ia justru menyadarkanku tentang hakikat kebahagiaan yang seharusnya. Jika ia mengucapkan salam padaku melalui sms, aku menjawabnya dan tanpa sadar membuatku berpikir. Berpikir tentang makna salam itu sendiri. "Wa 'Alaykum Salaam wa RohmatuLlaah wa Barokaatuh" Dan salam kesejahteraan juga bagimu dengan Rahmat Allah dan Barokah Allah, doaku dalam hati. sepanjang hidupku, telah banyak kulakukan perbuatan tercela pada orang lain. Aku sadar mengapa salam menjadi hak seorang muslim atas saudaranya. Barangkali doa dalam salam itu berfungsi untuk menghapuskan dosa-dosa yang ada. Ia adalah kebaikan yang mudah diberikan kepada saudara-saudara kita. Sebuah doa, bukan semata-mata ungkapan formalitas tanpa makna.
Rupanya aku baru menyadari mengapa Allah menciptakan perempuan sperti dia, kehadirannya bukan hanya untuk membahagiakanku seperti dugaanku. Tapi menyadarkan orang-orang sepertiku tentang arti bersyukur pada nikmat Allah yang mudah terlihat tapi sukar di lihat. Nikmat kesempurnaan fisik, kesehatan mental, dan kenikmatan iman.
Terima kasih Ifa, kataku dalam hati. Ifa adalah nama perempuan itu. Ia perempuan yang soleha, rajin shalat, dan pintar mengaji.
Suatu hari aku terkejut mendapati Ifa berjalan di depan fakultas. Ia kelihatan terburu-buru, kemudian ia melihatku dan tersenyum sambil menyodorkan tangannya untuk berjabat tangan denganku, dan kusambut tangannya begitu cepat. Tangan yang begitu lembut dan ini pertama kali aku berjabat tangan dengannya karena sebelumnya ia tak menyambut tanganku waktu pertamakali bertemu di BAAK. Dia ingin kedepan kampus, katanya.
"Tak lama kemudian ia kembali, ia meminta rangsel yang saya bawa dan ingin memindahkan sesuatu dari tasnya ke rangselku. Dan dikeluarkannya buah berwarna orange yang terbungkus plastic dari balik tasnya. Sungguh, Aku tidak bisa menduga maksud ia menunjukkan buah itu padaku."Apakah ini tidak salah”? walaupun sebelumnya pernah mengatakan padaku untuk memberikan buah padaku sebagai oleh-oleh, tapi pikirku dia bercanda.
Meski begitu, kuterima saja buah itu dengan tatapan penuh tanya, ia hanya tersenyum lalu berkata pelan-pelan, "sudah..." untuk menghalangi tanyaku.
Aku menatapnya lebih dalam. Berusaha mencari makna dibalik semua yang belum kupahami. Aku teringat ceramah ustadz waktu pergi shalat tarwih " bidadari surga itu juga ada di dunia dalam bentuk wanita sholihah.." di sini aku berhenti berpikir, aku tersenyum malu-malu dan menundukkan kepalaku dalam-dalam, lalu melanjutkan ingatanku "kata ustadz juga, wanita sholihah itu salah satu cirinya baik hati dan berjilbab rapih ..."
Aku terharu mengingat penjelasannya yang sederhana namun sarat makna. Tanpa sadar meremas-remas tali rangselku, kuingat Nabi Muhammad SAW bersabda : "Jangan anggap remeh suatu perbuatan baik, bahkan jikapun kamu bertemu saudaramu dengan muka tersenyum (karena itu adalah perbuatan yang berat timbangan kebaikannya)."
Kemudian, sewaktu aku menatap kembali wajahnya, aku tahu bahwa karena perempuan yang cantik ini, aku tidak hanya telah diajak ke dalam dunia perenungan dan kesunyian yang aneh, aku telah diberi kesempatan untuk menghargai orang secara terbuka untuk pertama kalinya dan untuk mengenang hal-hal yang baik dalam diri orang lain, sekecil apapun itu. Setelah hari itu, tampaknya jauh lebih mudah untuk memuji dan meluhurkan Allah atas semua yang kuterima dalam hidupku yang benar, mulia, dan adil termasuk sebungkus buah orange dari seorang perempuan manis seperti Ifa. Mungkin baginya hadiah/oleh-oleh yang bisa dipersembahkannya kepadaku adalah buah itu.
Bukan masalah soal harganya, namun nilai makna yang terkandung dalam buah itu membuatku terharu. Pikirnya memang sangat sederhana, tapi itu justru membuatku mudah menyerap nilai-nilai kebaikan yang diberikan orang kepadaku. Dengan seulas senyum saja, ia telah memberiku predikat seseorang yang baik hati. Dengan hanya menjawab salamnya saja aku telah mensejajarkannya dengan bidadari surga! Aku sungguh terharu!
Tak akan kulupa dia, saat dia mengiringiku dengan senyumnya tatapan mataku takkan pindah, karena dia telah memberiku sesuatu yang tak akan pernah bisa kubayar. Dia berikan padaku kesempatan untuk memberi yang kumampu, kesempatan untuk menunjukkan cinta pada mereka yang tersingkir, kesempatan untuk sekedar tersenyum dan menjawab salam ketika tak seorang pun bersedia, kesempatan untuk menjadi manusia istimewa, kesempatan untuk melakukan kebaikan.
Aku akan selalu berterima kasih pada perempuan cantik itu karena menunjukkan padaku cinta dalam seuntai doa, untuk memberiku kesempatan menjadi seseorang yang memiliki kepekaan hati lebih banyak, untuk memberiku kesempatan menjawab ketukannya di pintu kalbuku.
Aku tahu, kamu bukanlah bidadari, meski kamu ingin sekali menjadi salah satunya. Aku telah melukai banyak orang dengan menjadi diriku, dan orang ini, orang yang sepertimu, yang tidak mengabaikan diriku, untuk sejenak kutemukan seorang bidadari berdiri di sampingku yang siap terbang bebas.


UNTUK SESEORANG YANG MEMANGGILKU KAKAK



BIDADARIKU

Bidadari kecilku hidup didalam sebuah cerita cinta, cerita dunia mimpi yang tidak ada kemungkinan untuk nyata. Walaupun mimpi tapi kubertemu di nyatanya pikiranku. Kini ia hidup damai oleh kesempurnaannya cinta.
Bidadari kecil, yang kutemukan dalam perjalananku untuk mencari kehidupan yang indah. Hari itu kutak sengaja bertemu dengannya di awan perkenalan yang menghadirkan hujan keakraban sebagai awal cerita. Sebuah cerita cinta yang membuatku larut di paragrap kalimatnya. Mungki karena terdapat pecahan kebahagiaan yang menggoresku dan membuatku tak ingin pindah dari tempatku di mana aku berdiri di jalan persimpangan yang membingungkan. Di manakah asal goresan itu? Kini jalan telah kuikuti, sebuah jalan arah goresan itu. Jalan di mana terdapat jejak bidadari kecilku.
Waktu demi waktu yang berlari bersamaku untuk mengikuti jejaknya. Jejak bidadariku, dan kusemakin mendekat dengan perlahan untuk meraih sisinya. Namun hanya sebatas dekat saja dan tak pernah kumeraihnya dengan sentuhan hatiku. Kuingin sekali dia berbalik dan mengatakan “ayo” Dan senyumpun akan tercipta di wajah hatiku sebagai lambang kebahagiaanku. Kapankah hal itu terjadi? Munkin tak akan pernah? Bodohnya aku, ku tak memiliki sayap seperti bidadari kecilku yang bisa terbang bebas kemana saja. Dan kusadari bahwa aku hanya manusia yang tak punya sayap untuk terbang dan mengikuti dia. Wajar saja jika ku tak bisa meraihnya.
Kuseakan-akan rasa putus asa telah tercipta dalam pikiranku. Yang mengancam akan menutup rasa bahagia yang kualami semenjak bertemu bidadari kecilku. Tapi takdir berkata lain, dia telah menungguku di jalannya. Sebuah jalan yang tak pernah kusadari bahwa jalan itu adalah jalan cinta, jalan di mana aku terus bersama bidadari kecilku. Ku terus ikut dan berjalan kedepan sampai suatu saat  ku temukan bahwa dia memiliki cinta yang dititipkan di suatu tempat dimana seseorang telah menjaganya dan dialah pasangan hidupnya. Dialah selama ini yang memberikan kebahagiaan untuknya, sebuah kebahagiaan yang membuatnya tertawa indah dalam perjalanan cintanya.
Entah apa yang kurasakan ketika mengetahui tentang hal itu. Mungkin bahagia, atau sebaliknya? Sungguh benar-benar ku tidak tahu. Tapi hal itupun ku tidak terlalu memikirkannya, mungkin karena kebahagiaan yang melekat pada diriku oleh perjalananku bersama dia, bidadari kecilku. Sampai saat ini ku masih memiliki senyum untuknya, dan ku tidak pernah sedih karenanya. Dan kuseakan-akan tidak ingin kembali ke jalanku dan tidak ingin jauh darinya.
Walaupun demikian, kusempat berpikiran “kenapa kuharus ikut dalam mimpi ini”? sebuah mimpi yang menyuguhkan cerita cinta, apakah ini nyata? Apakah ini kebodohan? Mungkin tidak, karena kedamaianlah yang kutemukan di sini. Kedamaian yang menutupi segala keburukan yang pernah terpikirkan olehku, dan menutupi jejak jalanku yang membuatku tidak mungkin kembali lagi. Yang saat ini yang dapat ku lakukan adalah berusaha untuk tetap berada disampingnya dan kuinginkan dia bahagia juga karenaku. Kuingin membalas yang telah diberikannya padaku yaitu kedamaian dan kebahagiaan.
Kini ia hidup damai oleh kesempurnaannya cinta. Ia hidup damai bersama orang yang mencintainya. Ku hanya bisa tersenyum, dan hatikupun begitu. Namun lama kelamaan ada sesuatu yang saya rasakan, sesuatu yang membuat saya selalu ingin melihat wajahnya setiap saat. Tapi kuhanya berpikiran, bahwa ini merupakan sesuatu yang wajar karena keakraban telah terikat antara aku dengan dia, bidadariku. Dan karena hal itulah ku tak pernah mencari alasannya mengapa demikian.
Dengan berjalannya waktu, hal yang pernah kurasakan sebelumnya semakin mengganggu ketenangan hatiku. Sesuatu yang seakan-akan tak ingin lepas dari dia, dan ku tak ingin jauh darinya. Mungkin ini cinta? Kutakut jika yang kualami adalah cinta. Mungkinkah cinta tercipta dalam perjalanan cerita mimpi ini? Dan sejak kapan perasaan cinta hadir dalam diriku untuknya? Kubingung, kuingin keluar dari cerita itu, dan ku tak ingin cintaku telah merubah cerita ini dan membuat jalan baru, sebuah jalan yang nantinya membuat senyumnya hilang.
Kusadar bahwa kehadiranku sebagai manusia yang tak tau apa-apa membuatku takut akan merubah segalanya. Dan saat pula kumenyadari Tuhan  telah menanamkan cinta dalam diriku dan itu merupakan hidayah dan saat itu pula kusadar bahwa ini adalah nyata bukan lagi mimpi. Tapi ku masih takut cinta yang ku miliki akan menghapus cinta sebelumnya dan karena cintaku ini hanya menciptakan air mata yang akan menetes dari dagunya. Air mata yang akan menutup senyum manisnya. Membingungkan!
Yang dapat kulakukan hanya berserah diri. Dan berpikiran hal-hal yang positif dan menjalani pada semestinya. Karena Cinta adalah suatu pemberian, bukan diupayakan. Manusia tidak pernah dan tidak akan dapat berusaha menanamkan cinta pada dirinya, cinta bukan zat pada diri manusia, karena manusia tidak wujud atau membawa perasaan cinta. Cinta adalah sesuatu yang diturunkan Allah SWT dan ditempatkan pada manusia. Dan itu merupakan hidayah-Nya telah tertanam dalam diriku dan suatu kesyukuran bagiku karena ku jatuh cinta pada bidadari kecilku.
Dan kini cintaku ku sembunyikan darinya, ku tak ingin dia mengetahuinya. Karena sudah cukup bagiku ada didekatnya dan keindahan tersendiri bagiku. Untuk saat ini ku hanya dapat mengatakan bahwa “AKU TELAH MENEMUKAN PEREMPUAN JELMAAN BIDADARI YANG MENIUP JANTUNGKU JADI BUNGA” indahnya……..





Cintai Aku Hari Ini

Hari ini mungkin akan ada tangis lagi.
Walau sampai habis air mata, tapi tak mengapa.
Karena aku mengiba cinta
.
eramuslim - Pernah merasakan kerinduan yang teramat sangat? Kerinduan untuk mendapatkan cinta. Saat itu seolah hati merana tak berjiwa. Seperti hampa. Tak berdaya. Namun kehidupan ini memaksanya untuk tetap ada.
Kemarin, saya melihat seorang anak menangis di hadapan ibunya. Ia sepupu saya sendiri. Beberapa menit sebelum tangisannya, si ibu memarahinya. Dan hampir juga memukuli. Baru kutahu bahwa si ibu telah meninggalkannya seharian penuh. Entah ke mana. Ia ditinggal di rumah hanya berdua dengan pembantu. Seperti biasa setiap kali ibunya pergi. Ibunya berkata, ia makin hari makin nakal. Baginya, bila ia telah sanggup menyampaikan rasa, hari itu ia rindu ibu.
Setiap diri kita pasti butuh cinta. Dan kebutuhan itu terlihat nyata dari perilaku kita, ataupun tersembunyi lewat kata. Entah dinyatakan secara jelas, entah sekedar tersirat hadirnya. Mungkin pula hanya berupa rasa rindu yang menggelora tanpa kuasa meminta. Cinta itu fitrah adanya.
Beberapa waktu lalu, saya pernah berselisih dengan seorang sahabat yang telah saya kenal semenjak sepuluh tahun lamanya. Menurut saya, ia telah melakukan kesalahan, dan saya menegurnya. Menurutnya, ia hanya mengikuti kata hatinya, dan tak rela atas teguran saya.
Saat itu saya berpikir, kalau hari itu tak saya tegur ia, maka saya telah berdosa karena telah membiarkannya larut dalam perasaannya sedang ia tak memperhatikan lagi batas perilakunya. Saya tak lagi sempat berpikir bahwa mungkin saja ia telah salah menangkap maksud saya. Padahal saya hanya ingin memberitahunya sesuatu, bahwa saya cinta. Semua perkataan saya, adalah cinta saya kepadanya.
Seringkali tak sanggup diri kita untuk memperhatikan lagi rambu-rambu dalam bercinta. Oleh sebab perasaan itu telah kuat adanya. Otak ini serasa beku tak kuasa, sedang hati telah terguratkan olehnya.
Ada seorang istri yang marah pada suaminya. Setiap kalimat yang keluar darinya, tak lain hanyalah cercaan belaka. Ia berkata, tak lagi ada rasa percaya. Kita yang mendengarnya, mungkin akan berpikir bahwa ia tak lagi cinta. Tetapi nyatanya tak seperti itu. Sebab waktu akan membuktikan bahwa rasa itu tetap ada. Saat suaminya jatuh sakit, terlihat dari kecemasannya. Saat suaminya terlelap lelah dalam tidurnya, ia memperhatikan dan setia di sampingnya.
Kadangkala, kalimat yang kita ucapkan tak melulu mewakili perasaan yang sebenarnya. Seringkali hati lah yang bisa berbicara, namun mulut ini tak sanggup mengutarakannya. Keinginan untuk dicintai itu telah terpendam jauh di pelosok kalbu.
Kepada manusia, kita telah melakukan apa saja untuk mendapatkan cinta. Dari ayah dan ibu kita, teman dan sahabat, suami, anak, istri, dan siapa saja yang dekat dengan diri kita.
Kepada Sang Pencipta, apakah kita berlaku hal yang sama? Andaikan begitu lemah kita menyampaikan rasa, bagaimana kita meminta kepada-Nya? Bukankah segala pinta tersampaikan lewat doa?
Walau hanya sebatas satu kalimat yang terlantunkan dari hati,
Ya Allah, cintai aku hari ini...