Rabu, 05 Oktober 2011

faktor pembentuk tanah

                                                                PEMBAHASAN
  A. Faktor-faktor pembentukan tanah
            Ilmu yang mempelajari proses-proses pembentukan tanah mulai dari bahan induk disebut genesa tanah. Banyak faktor yang mempengaruhi proses pembentukan tanah, tetapi hanya lima faktor yang dianggap penting yaitu; (1) iklim; (2) organisme; (3) bahan induk; (4) topografi; (5) waktu.

a. iklim
            Iklim merupakan faktor yang amat penting dalam proses pembentukan tanah. Suhu dan curah hujan sangat berpengaruh terhadap intensitas reaksi kimia dan fisika di dalam tanah. Setiap suhu naik 100 C maka kecepatan reaksi menjadi dua kali lipat. Reaksi-reaksi olehmikroorganisme. juga sangat dipengaruhi oleh suhu tanah
            Adanya curah hujan dan suhu tinggi di daerah tropika menyebabkan reaksi kimia berjalan cepat sehingga proses pelapukan dan pencucian berjalan cepat. Akibatnya banyak tanah di indonesia telah mengalami pelapukan lanjut, rendah kadar unsur hara dan bereaksi masam.
            Di daerah-daerah yang beriklim lebih kering seperti di Indonesia bagian timur pencucian tidak berjalan intensif sehingga tanahnya kurang masam dan lebih tinggi kadar basa-basanya.
b. Organisme
Pengaruh organisme dalam proses pembentukan tanah tidaklah kecil. Akumulasi bahan organik, siklus unsur hara, dan pembentukan stuktur tanah yang stabil sangat dipengaruhi oleh kegiatan organisme dalam tanah. Di samping itu unsur nitrogen dapat diikat ke dalam tanah dari udara oleh mikroorganisme, baik yang hidup sendiri di dalam tanah maupun yang bersimbiose dengan tanaman. Demikian juga vegetasi yang tumbuh di tanah tersebut dapat merupakan penghalang untuk terjadinya erosi, sehingga mengurangi jumlah tanah permukaan yang hilang.
Di daerah beriklim sedang seperti di Eropa dan Amerika pengaruh jenis vegetasi terhadap sifat tanah adalah sangat sangat nyata. Vegetasi hutan membentuk tanah-tanah hutan berwarna merah sedang vegetasi rumput-rumput membentuk tanah berwarna hitam karena banyaknya sisa-sisa bahan organik yang tertinggal dari akar-akar dan sisa rumput.
            kandungan unsur-unsur kimia yang terdapat pada tanaman juga sangat berpengaruh terhdap sifat-sifat tanah. Jenis-jenis cemara akan memberi kation-kation logam seperti Ca, Mg dan K  yang rendah dibanding dengan tanaman berdaun lebar, di mana serahsanya lebih banyak mengandung basa-basa. Akbitnya tanah di bawah pohon pinus biasanya lebih masam daripada tanah di bawah pohon jati dan sebagainya. Pencucian basa-basa biasanya juga lebih intensif pada tanah-tanah di bawah pohon pinus.
c. Bahan induk
            Sifat-sifat dari bahan induk masih tetap terlihat, bahkan pada tanah humid  yang telah mengalami pelapukan sangat lanjut. Misalnya tanah-tanah bertekstur pasir adalah akibat dari kandungan pasir yang tinggi dari bahan induk. Susunan kimia dan mineral bahan induk tidak hanya mempengaruhi intensitas tingkat pelapukan, tetapi kadang-kadang menetukan jenis vegetasi alami yang  tumbuh di atasnya. Terdapatnya batu kapur di daerah humid akan menghambat tingkat kemasaman tanah. Di samping itu, vegetasi yang hidup di atas tanah berasal dari batu kapur biasanya banyak mengandung basa-basa lapisan tanah atas melalui serasah dari vegetasi tersebut maka proses pengasaman tanah menjadi lebih lambat.
            Batu-batuan di mana bahan induk tanah berasal dapat dibedakan menjadi:
1.      Batuan beku
Terbentuk karena magma yang membeku.
a.       Batuan beku atas: magma membeku di permukaan bumi (batuan vulkanik).
b.      Batuan beku gang (terobosan): magma menerobos retakan-retakan atau patahan-patahan dalam bumi dan membeku di antara sarang magma dan permukaan bumi.
c.       Batuan beku dalam: magma membeku di dalam bumi.

Berdasar atas kandungan SiO2, batuan beku dibedakan menjadi batuan beku yang bersifat masam, intermedier dan alkalis.
Batuan induk masam menghasilkan tanah yang masam pula, sedang batuan induk alkalis pada umumnya menghasilkan tanah-tanah alkalis, tetapi bila mengalami pencucian lanjut karena curah hujan tinggi dapa pula membentuk tanah masam.
Salah satu bentuk yang khas dari bahan volkanik adalah abu volkan. Bahan ini merupakan bahan volkanik yang disemburkan dari gunung api sewaktu gunung api tersebut meletus. Abu volkan ada yang banyak mengandung gelas volkan yang amorf (tipe vitrik), ada pula yang banyak mengandung fragmen batuan (tipe litik). Tanah yang terbentuk dari abu volkan umumnya merupakan tanh-tanah yang subur misalnya tanah Andosol (Andisol).
2.      Batuan sedimen
a.       Batuan endapan tua terdiri dari bahan endapan (umumnya endapan laut) yang telah diendapkan berjuta tahun yang lalu hingga telah membentuk batuan yang keras.

Beberapa contoh dari batuan endapan tua ini adalah :
Batuan gamping    : Merupakan endapan laut, banyak mengandung karang laut.
  Sebagian besar terdiri dari CaCO3  (kalsit) dan CaMg (CO3)2
   (dolomit).
Batu pasir              : Banyak mengandung pasir kuarsa (SiO2).
Batu liat                : Ada yang bersifat masam ada yang alkalis (shale/napal dan
  sebagainya). Kadar liat tinggi
b.      Bahan endapan baru: belum menjadi batu.
-          Diendapkan oleh air, misalnya di daerah dataran banjir, atau dataran aluvial.
-          Diendapkan oleh angin misalnya pasir pantai, loess dan sebagainya
3.      Batuan Metamorfosa (malihan)
Berasal dari batuan beku atau sedimen yang karena tekanan dan suhu sangat tinggi berubah jadi jenis batuan lain. Batuan metamorfosa umumnya bertekstur lembar (foliated texture) akibat rekritalisasi dari beberapa mineral dan orientasi mineral menjadi paralel sehingga terbentuk lembar-lembar. Batuan metamorffosa dengan lembar-lembar halus disebut schist  (misalnya mika schist) sedang dengan yang lembar-lembar kasar disebut gneis  (misalnya granit gneis). Beberapa jenis batuan metamorfosa tidak menunjukkan foliated texture tersebut misalnya kwarsit (dari batu pasir) dan marmer (dari batu kapur karbonat).
4.      Bahan Induk Organik
Di daerah hutan rawa yang selalu tergenang air, proses penghancuran bahan organikberjalan lebih lambat daripada proses penimbuhan, maka terjadilah akumulasi bahan organik. Dengan demikian maka terbentuklah tanah-tanah organik atau tanah gambut (Histosol), seperti banyak ditemukan di pantai timur sumatra, pantai barat, selatan, timur kalimantan, dan pantai selatan irian jaya.
Di Indonesia, terutama di jawa dan beberapa tempat di luat jawa banyak ditemukan tanah-tanah berkembang dari bahan-bahan volkanik. Tanah-tanah ini terdapat disekitar gunung berapi dan umumnya merupakan tanah subur karena bahan volkanik tersebut banyak mengandung mineral mudah lapuk yang kaya akan unsur hara, seperti K, Ca, Mg dan sebagainya.
Di lain pihak terutama di luar jawa banyak ditemukan tanah-tanah berasal dari bahan induk batuan endapan laut yang amat tua misalnya batuan liat (diendapkan pada zaman tertier), sehingga banyak ditemukan pula tanah-tanah kurus dan masam di daerah tersebut.
d. Topografi
            Relief adalah perbedaan tinggi atau bentuk wilayah suatu daerah termasuk di dalamnya perbedaan kecuraman dan bentuk lereng. Relief mempengaruhi proses pembentuk tanah dengan cara: (1) mempengaruhi jumlah air hujan yang meresap atau ditahan masa tanah, (2) mempengaruhi dalamnya air tanah, (3) mempengaruhi besarnya erosi, dan (4) mengarahkan gerakan air berikut bahan-bahan yang terlarut didalamnya.
            Topografi (bentuk wilayah atau relief) suatu daerah dapat menghambat atau mempercepat pengaruh iklim. Di daerah yang datar atau cekung di mana air tidak mudah hilang dari tanah atau menggenang, pengaruh iklim menjadi tidak jelas dan terbentuklah tanah berwarna kelabu atau banyak  mengandung karatan sebagai akibat genangan air tersebut.
            Didaerah bergelombang, drinase tanah lebih baik sehingga pengaruh iklim (curah hujan, suhu) lebih jelas dan pelapukan serta pencucian berjalan lebih cepat. Di daerah yang berlereng curam kadang-kadang terjadi terus menerus erosi permukaan sehinggaterbentuklah tanah-tanah dangkal. Sebaliknya, pada kaki-kaki lereng tersebut sering ditemukan tanah dengan profil dalam akibat penimbuhan bahan-bahan yang dihanyutkan dari lereng atas tersebut.
            Sifat-sifat tanah yang umumnya berhubungan dengan relief adalah tebal solum, tebal dan kandungan bahan organik horison A, kandungan air tanah (relative wetness), warna tanah, tingkat perkembangan horison, reaksi tanah (pH), kejenuhan basa, kandungan garam mudah larut dan lain-lain.
Waktu
            Tanah merupakan benda alam yang terus menerus berubah (dinamis) sehingga akibat pelapukan dan pencucian yang terus menerus maka tanah-tanah yang semakin tua juga semakin kurus. Mineral yang banyak mengandung unsur hara telah habis mengalami pelapukan sehingga tinggal mineral yang sukar lapuk seperti kuarsa. Profil tanah juga semakin berkembang dengan meningkatnya umur.
            Karena proses pembentuk tanah yang terus berjalan maka bahan induk tanah berubah berturut-turut menjadi: tanah muda (immature atau young soil), tanah dewasa  (mature soil) dan tanah tua (old soil).
            Tanah muda: pada tingkat ini proses pembentukan tanah terutama berupa proses pelapukan bahan organik dan bahan mineral, pencampuran bahan organik dan bahan mineral dipermukaan tanah dan pembentuk struktur tanah karena pengaruh bahan organik tersebut. Hasilnya adalah pembentukan horison A dan horison C. Sifat tanah masih didominasi oleh sifat-sifat bahan induknya. Termaksuk tanah muda adalah jenis tanah Entisol (Aluvial, Regosol).
            Tanah dewasa: dengan proses yang lebih lanjut maka tanah-tanah muda dapat berubah menjadi tanah dewasa yaitu dengan proses pembentukan horison B. Horison B yang terbentuk adalah horison B yang masih muda (bw) sebagai hasil dari proses alterasi bahan induk (terbentuk struktur tanah, warna lebih merah dari bahan induk) atau ada penambahan bahan-bahan tertentu (liat dan lain-lain) dalam jumlah sedikit dari lapisan atas. Pada tingkat ini tanah mempunyai kemampuan berproduksi tertinggi, karena unsur-unsur hara di dalam tanah cukup tersedia, akibat pelapukan mineral dan pencucian unsur hara belum lanjut. Jenis tanah yang termaksuk dalam tingkat ini antara lain Inceptisol (Latosol Coklat, dan lain-lain), Andesol, Vertisol, Mollisol dan sebagainya.
            Tanah tua: dengan meningkatnya umur maka proses pembentuk tanah berjalan lebih lanjut, sehingga terjadi perubahan-perubahan yang lebih nyata pada horison A, E, EB, BE, Bt, (Bs), (Bo), BC dan lain-lain. Di samping itu pelapukan mineral dan pencucian basa-basa makin meningkat sehingga tinggal mineral-mineral yang sukar lapuk di dalam tanah dan tanah menjadi kurus dan masam. Jenis-jenis tanah tua tersebut antara lain adalah tanah Ultisol (Podsohik Merah Kuning) dan Oxisol (laterit).
            Banyaknya waktu yang diperlukan untuk pembentukan tanah berbeda-beda. Tanah yang berkembang dari batuan yang keras  memerlukan waktu yang lebih lama untuk pembentukan tanah dibanding dengan yang berasal dari bahan induk yang lunak  dari lepas. Dari bahan induk volkanik lepas seperti abu gunung api, dalam waktu kurang dari 100 tahun telah dapat terbentuk tanah muda. Tanah dewasa dapat terbentuk dalam waktu 1.000 – 10.000 tahun seperti halnya tanah Spodosol di Alaska yang berkembang dari bahan induk berpasir (1.000 tahun) dan tanah Molisol di Amerika Serikat yang berkembang dari bahan induk berlempung lepas (10.000 tahun). Tanah berasal dari abu Gunung Krakatau letusan tahun 1883, membentuk horison A setebal 25 cm selama 100 tahun (1883-1983), terutama yang tidak  terjadi erosi. Di tempat-tempat yang terjadi erosi ketebalan horison A hanya mencapai 5 cm atau kurang (hardjowigeno, et al, 1983).
            Perlu dicatat bahwa tingkat perkembangan tanah tidak setara dengan tingkat pelapukan tanah. Tingkat perkembangan tanah berhubungan dengan perkembangan pembentukan horison-horison tanah, sedang tingkat pelapukan tanah berhubungan dengan tingkat pelapukan mineral dalam tanah. Tanah muda yang baru mempunyai horison A dan C dapat berupa tanah yang baru sedikit mengalami pelapukan bila berasal dari bahan induk baru seperti abu volkan, tetapi dapat juga telah mengalami pelapukan lanjut bila berasal dari bahan induk tua atau bahan induk yang telah mengalami pelapukan lanjut di tempat lain.
            Kekeringan dan erosi  dapat menghambat perkembangan tanah. Dalam periode waktu yang sama (umur yang sama) tanah di suatu tempat mungkin telah berkembang lanjut sedang di tempat lain yang beriklim kering atau terus menerus tererosi, mungkin tanahnya belum berkembang. Oleh karena itu, tua mudanya tanah tidak dapat dinyatakan dari umur tanah tersebut (dalam tahun), tetapi harus didasarkan pada tingkat perkembangan horison-horison tanah yang ada.
            Proses perkembangan tanah mula-mula berjalan agak cepat tetapi makin tua tanah, proses tersebut berjalan sangat lambat.



B. Faktor dan proses pembentukan tanah
            Secara umum tanah-tanah dikelompokkan menjadi dua golongan, yaitu:
(1)   Tanah Endodinamorf, yaitu tanah yang mempunya sifat-sifat terutama kimiawinya yang identik dengan bahan induknya, atau terbentuk bahan induk residual, contoh tanah golongan ini meliputi:
(a)    Lithosol, yang terdapat di Orissa India, berwarna kuning dan terbentuk dari bahan induk asal kompleks granit, gneiss dan schist,
(b)   Andosol di dataran tinggi Indonesia dan Filipina,
(c)    Grumodol di pulau jawa, dan
(d)   Organosol (tanah gambut) di kawasan rawa-rawa Pantai Timur Sumatera Selatan dan Jambi, Riau, Kalimantan dan Papua.
(2)   Tanah Ektodinamorf, yang mempunyai sifat-sifat tidak identik dengan bahan induknya. Contoh tanah golongan ini adalah tanah Aluvial yang terletak di pinggiran sungai.
Kedua golongan tanah tersebut baik pembentukannya (genesis) maupun perkembangannya (differensiasi horizon) dipengaruhi oleh 5 faktor yang bekerja secara integral dan kontinyu melalui mekanisme baik secara fisik, kimiawi maupun biologis. Korelasi antara kelima faktor ini dengan sifat-sifat tanah yang terbentuk diformulasikan oleh jenny (cit. Darmawijaya, 1990) sebagai berikut:
Di mana S = sifat-sifat tanah, seperti kadar liat, pH, dan lain-lain adalah fungsi dari:                           
interaksi antara; i = iklim, h =jasad hidup, b = bahan induk, t =topografi, dan w = waktu
.thorf memilahkan kelima faktor ini menjadi dua golongan:
(1)   Faktor tergantung geografis, meliputi bahan induk, iklim, aktivitas biologis dan relief, serta
(2)   Faktor tergantung fisiografis dan geologis bentang-lahan, yaitu waktu atau umur perkembangan.
Kemudian Joffe memilahkan pula kelima faktor tersebut menjadi dua bagian, yaitu:
(1)   Faktor pasif, yaitu faktor-faktor yang menjadi sumber massa tanah dan kondisi saat proses pembentukan tanah berlangsung, meliputi bahan induk, topografi (relief dan waktu, serta
(2)   Faktor aktif, yaitu faktor-faktor yang menghasilkan energi untuk pelaksanaan proses pelapukan terhadap massa dan kondisi tersebut, yaitu biosfer (jasad hidup dan aktivitasnya) dan iklim (atmosfer dan hidrosfer) (cit. Darmawijaya, 1990).

Menurut Hardjowigeno (1993), urutan perubahan sifat-sifat tanah yang hanya disebabkan masing-masing satu faktor pembentukan tanah tersebut dikenal sebagai:
(1)   Klimatosekuen, jika hanya dipengaruhi oleh perbedaan iklim,
(2)   Biosekuens, jika hanya oleh perbedaan aktivitas,
(3)   Toposekuen, jika hanya oleh perbedaan topografi,
(4)   Lithosekuen, jika hanya oleh perbedaan jenis bahan induk, dan
(5)   Khorosekuen, jika hanya oleh perbedaan faktor umur.

1.      Iklim
Iklim merupakan rata-rata cuaca pada jangka panjang, minimal per musim atau per periode atau per tahun, dan seterusnya, sedangkan cuaca adalah kondisi iklim pada suatu waktu berjang pendek, misalnya harian, mingguan, bulanan, dan maksimal semusim atau seperiode,
Semua energi di alam raya termasuk yang digunakan dalam proses genesis dan differensiasi tanah bersumber dari energi panas matahari. Jumlah energi yang sampai ke permukaan bumi tergantung pada kondisi bumi atau cuaca, makin baik (cerah) cuaca makin banyak energi yang sampai ke bumi, sebaliknya jika cuaca buruk (berawan). Cuacalah yang bertanggung jawab dalam mengubah energi matahari menjadi enegi mekanik atau panas. Apabila energi mekanik menimbulkan gerakan udara atau angin yang memicu panas penguapan air melalui mekanisme transpirasi tanaman dan evaporasi permukaan nontanaman (gabungannya disebut evapontraspirasi), maka energi panas ditransformasi oleh tanaman menjadi energi kimiawi melalui mekanisme fotosintesis, yang kemudian digunakan oleh semua mahluk hidup untuk aktivitasnya melalui mekanisme dekomposisi (humifikasi dan mineralisasi) bahan organik, termasuk pencernaan usus manusia dan hewan.
Di antara komponen iklim, yang paling berperan adalah curah hujan (presipitasi) dan temperatur. Berdasarkan nisbah antara P {presipitasi (hujan + salju + embun)} : Et (evapotranspirasi), Walther Penck membagi tanah dunia menjadi dua wilayah, yaitu:
(a)    Daerah Humid (basah) apabila bernisbah P : Et lebih besar dari 0,7 dan
(b)   Daerah Arid (kering) apabila bernisbah kurang dari 0,7.
Lang membagi wilayah bumi berdasarkan nisbah R {curah hujan rerata tahunan (mm)} : T {temperatyr rerata tahunan (0C)} menjadi 4 wilayah, yaitu:
(a)    Daerah Arid (kering) apabila nisbah R : T kurang dari 40, yaitu kawasan yang berevapotranspirasi lebih besar ketimbang curah hujan, sehingga ait tanah naik ke permukaan. Tanah kawasan ini berciri-khas adanya kerak-kerak garam di permukaan.
(b)   Daerah Humid (lembab) apabila bernisbah antara 40-160, yaitu kawasan yang bercurah-hujan lebih besar ketimbang evapontraspirasi, sehingga proses mineralisasi lebih lambat ketimbang humifikasi. Oleh karena itu, humus makin banyak terbentuk dengan makin banyaknya hujan dan proses bumi-fikasi optimum pada nisbah 120. Tanah-tanah di wilayah ini terbagi menjadi:
(1)   Tanah-tanah Kuning atau Merah, dengan nisbah 40-60,
(2)   Tanah-tanah Coklat, dengan nisbah 100-160
(3)   Tanah-tanah Hitam, dengan nisbah 100-160.
(c)    Daerah Perhumid (sangat lembab), yaitu wilayah bernisbah lebih besar dari 160.
(d)   Daerah Nival (basah), yaitu wilayah tanpa penguapan sama sekali, seperti di sebagian Eropa, Palestina dan Amerika Serikat.
Dua istilah yang sering dipergunakan adalah daerah pegunungan dan daerah tropika. Daerah pegunungan menurut Meyer adalah dataran tinggi yang mempunyai nisbah N (jumlah hujan setahun) : S (defisit kejenuhan = beda tekanan uap air maksimum pada temperatur tertentu dan tekanan 76 cm Hg dengan kelembaban mutlak udara) untuk semua bulan lebih dari 30 atau lembab sepanjang tahun. Daerah Tropika menurut Thornthwaite adalah wilayah yang mempunyai indeks E-T lebih dari 128. Indeks E-T (efisien temperatur) adalah jumlah nisbah {temperatur bulan (0F) – 32} : 4 selama setahun (cit Darmawijaya, 1990).
2.      Pengaruh Curah Hujan
Sebagai pelarut dan pengangkut, maka air hujan akan memengaruhi: (1) komposisi kimiawi mineral-mineral penyusun tanah, (2) kedalaman dan differensiasi profil tanah, dan (3) sifat fisik tanah.
Di Amerika Serikat, yaitu pada daerah:
Semiarid sampai semihumid > semihumid > humid (terpodzolisasi)
Nilai pelindian adalah nisbah indeks pelindian (IP) pada horizon tanah: pelindian pada horizon bahan induk, dengan indeks pelindian (IP):
IP = (k2O + Na2O + CaO) : (A12O3)
Urutan nilai pelindian ini merupakan indikator makin intensifnya pengaruh curah hujan dalam melindi senyawa-senyawa kimiawi yang diwkili oleh K2O, Na2O dan CaO pada profil tanah ketimbang pada bahan induknya, sehingga juga merupakan indikator:
(1)   Makin rendahnya kadar dan ketersediaan hara, kejunuhan basa-basa (Ca, Mg, Na, dan K), reaksi tanah (pH) dan muatan negatif koloid liat, sehingga apabila tanah-tanah tersebut bersala dari bahan induk yang sama, secara umum juga mencerminkan makin rendahnya kesuburan tanah, dan
(2)   Makin banyaknya pembentukan liat oksida Al dan Fe yang bermuatan negatif rendah bahkan dapat bermuatan positif, sehingga berdaya-fiksasi tinggi terhadap anion-anion seperti fosfat, tetapi berdaya-tukar rendah terhadap kation-kation seperti K, Ca dan Mg. Hal ini berdampak negatif terhadap efisiensi pemupukan maupun ameliorasi (pembenahan sifat kimiawi tanah).
(3)   Makin terdiferensiasinya horizon-horizon tanah baik secara kimiawi maupun secara fisik. Secara fisik, tanah-tanah akan mempunyai lapisan atas yang gembur dab relatif tipis, tetapi secara keseluruhan akan bersolum tebal bersifat kimiawi buruk dan bersifat fisik baik.
Curah hujan berkorelasi erat dengan pembentukan biomass (bahan organik) tanah, karena air merupakan komponen utama tetanaman maka kurangnya curah hujan akan menghambat pertumbuhan dan perkembangannya. Oleh karena itu, pada tanah-tanah daerah arid umumnya dicirikan oleh rendahnya kadar BOT dan N, serta aktivitas mikrobia heterotrofik (penggunaan biomass sebagai sumber energi dan nutrisinya), sebaliknya pada tanah-tanah daerah humid, bahkan pada kawasan rawa-rawa akan terbentuk tanah gambut yang ketebalannya dapat lebih dari dua meter akibat terhambatnya mineralisasi dalam proses dekomposisi biomass (humifikasi lebih dominan).
3.      Pengaruh temperatur   
perbedaan temperatur merupakan cerminan energi panas matahari yang sampai ke suatu wilayah, sehingga berfungsi sebagai pemicu:
(1)   Proses fisik dalam pembentukan liat dari mineral-mineral bahan induk tanah, dengan mekanisme identik proses pelapukan bebatuan yang telah diuraikan di atas,
(2)   Keanekaragaman hayati yang aktif, karena masing-masing kelompok terutama mikrobia mempunyai temperatur optimum spesifik, sehingga perbedaan temperatur  akan menghasilkan jenis dan populasi mikrobia yang berbeda pula. Umumnya dari titik optimalnya akan diikuti oleh jenis dan populasi mikrobia yang masih sedikit.
(3)   Kesempurnaan proses dekomposisi biomass tanah hingga ke mineralisasinya.
Sebagai hasil dari fungsi (2) dan (3) ini maka kadar biomass tanah-tanah akan bervariasi. Tanah yang terbentuk pada temperatur rendah (daerah kutub) akan cenderung berkadar biomass rendah lagi mentah (fibrik), akibat tetanaman yang tumbuh umumnya berbatang-kecil dan lambat berkembang dan sedikitnya populasi dan jenis mikrobia heterotrof yang aktif. Tanah yang terbentuk pada temperatur tinggi (daerah arid) karena cepatnya proses mineralisasi kimiawi terhadap sisa-sisa tanaman. Tanah-tanah yang terbentuk pada daerah humid (temperatur sedang) akan mempunyai jenis dan populasi mikrobia yang ideal, maka aktivitas biologisnya dalam dekomposisi biomass juga akan ideal. Sumber biomassnya berlimpah karena semua jenis tanaman akan tumbuh dan berkembang dengan baik, sehingga kadar biomass tanah dan derajat kematangannya akan sedang (hemik), karena laju proses humifikasi biomass seimbang dengan laju proses mineralisasinya. Humifikasi adalah proses dekomposisi bahan organik tanah yang menghasilkan senyawa-senyawa organik sederhana (seperti amina dari protein dan monosakarida dari karbohidrat) dan humus, sedangkan mineralisasi adalah proses dekomposisi senyawa-senyawa organik sederhana menjadi senyawa-senyawa atau ion-ion organik (seperti ammonium dan nitrat).
4.      Jasad Hidup
Di antara berbagai jasad hidup, vegetasi atau makrofloraa merupakan yang paling berperan dalam memengaruhi proses genesis dan perkembangan profil tanah, karena merupakan sumber utama biomass atau bahan organik tanah (BOT). BOT ini apabila terdekomposisi oleh mikrobia heterotrofik akan menjadi sumber energi dan hara bagi mikrobia sendiri, juga merupakan sumber senyawa-senyawa organik dan anorganik yang terlibat dalam berbagai proses kemogenesis dan biogenesis tanah. Vegetasi sendiri melalui sistem prakaranya akan berpenetrasi ke lapisan bawah tanah dan membawa unsur-unsur ke trubusnya, sisa perakaran dan trubus yang mati akan menjadi sumber BOT  dan unsur hara pada profil tanah sedalam penetrasi akar tersebut. Kedalaman pengaruh vegetasi ini terhadap sifat fisik, kimiawi dan biologis pada profil tanah tergantung pada intensitas dan ekstensitas sistem perakarannya, pengaruh pepohonan berakar tunggang akan lebih besar ketimbang rerumputan atau tetanaman berakar serabut.
5.      Bahan Induk
Jenis bahan induk akan menetukan sifat fisik maupun kimiawi tanah yang terbentuk secara endodinamomorf, tetapi pengaruhnya mejadi tidak jelas terhadap tanah-tanah yang terbentuk secara ektodinamomorf. Pengaruh bahan induk ini sangat jelas terlihat pada tanah-tanah muda-dewasa, namun dalam perkembangannya terjadi proses pelapukan lebih lanjut, apalagi apabila mengalami pelindian atau erosi berat, maka pengaruh ini makin tidak jelas, bahkan dapat hilang sama sekali.
Pengaruh bahan induk terhadap sifat-sifat taah, secara ringkas meliputi:
(1)   Tanah-tanah yang terbentuk dari bahan induk asal bebatuan beku asam seperti quarsit dan batu-pasir yang melapuk sangat lambat akan mempunyai tekstur berpasir kasar dengan liat yang didominasi tipe 1:1 kaolinit dan berkejunuhan-basa rendah, sehingga tergolong tanah miskin,
(2)   Sebaliknya jika terbentuk dari bahan induk asal bebatuan beku basa dan bebatuan sedimen yang umumnya mudah lapuk, maka tanahnya akan bertekstur lebih halus dengan liat yang didominasi tipe 2:1 montmorrilonit dan berkejenuhan basa tinggi, sehingga relatif subur.
(3)   Dari rhiolit yang relatif sangat lambat lapuk namun bertekstur halus terbentuk tanah-tanah muda yang bertekstur halus pula, sedangkan dari granit, basalt dan gabbro yang agak mudah lapuk tetapi bertekstur kasar terbentuk tanah-tanah muda yang juga bertekstur kasar.
(4)   Tektur tanah yang dipengaruhi mineral yang sukar lapuk seperti pasir kuarsa akan tetap terlihat meskipun tanah sudah tergolong tua.
(5)   Dari bahan induk asala batu-kapur murni yang keras akan terbentuk tanah-tanah yang berpasir dangkal (Terra Rosa),
(6)   Sebaliknya jika berbahan induk asal batu-kapur tak murni yang mudah lapuk, maka tanah yang terbentuk akan bersolum agak dalam dan bertekstur halus.
(7)   Bahan induk bertekstur halus biasanya akan menghasilkan tanah yang juga bertekstur halus dan berkadar BOT tinggi, karena daya serap airnya yang tinggi, memicu pertumbuhan dan perkembangan tetanaman sebagai sumber BOT tersebut.
(8)   Pada dataran tinggi atau pegunungan yang berkelembapan tinggi, dari bahan induk berupa debu vulkanik akan terbentuk tanah Andosol yang bersolum dalam dan didominasi oleh liat amorf yang disebut Alofan, serta relatif subur.
(9)   Di asia beriklim tropis, banyak tanah yang berjenis sama namun berasal dari bahan yang berbeda, misalnya asal basalt, batu-kapur dan granit. Tanah-tanah Hitam di Indian ternyata berasal dari bahan induk yang berlainan, yaitu basalt, batu-kapur, granit, gneiss dan batu-liat, padahal kondisi iklimnya sama.

6.      Topografi 
Topografi (relief) adalah perbedaan tinggi atau bentuk wilayah suatu daerah, termasuk perbedaan kecuraman dan bentuk lereng. Peran topografi dalam proses genesis dan perkembangan profil tanah adalah melalui empat cara, yaitu lewat pengaruhnya dalam menentukan:
(1)   Jumlah air hujan yang dapat meresap atau disimpan oleh massa tanah,
(2)   Kedalaman air tanah,
(3)   Besarnya erosi yang dapat terjadi, dan
(4)   Arah pergerakan air yang membawa bahan-bahan terlarut dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah.
Lewat empat perananya ini, maka Hardjowigeno (1993) menyimpulkan bahwa sifat-sifat tanah yang terpengaruh  meliputi:
(1)   Ketebalan solum dan bahan organik pada horizon O,
(2)   Kadar bahan organik pada horizon O dan air tanah,
(3)   Warna, temperatur dan taraf perkembangan horizon,
(4)   Reaksi tanah dan kadar garam mudah larut,
(5)   Jenis dan taraf perkembangan lapisan padas, dan
(6)   Sifat bahan induk tanah.
7.      Waktu
periode waktu pembentukan akan menentukan jenis dan sifat-sifat tanah yang terbentuk di suatu kawasan, karena waktu memberikan kesempatan kepada 4 faktor pembentukan tanah lainnya untuk memengaruhi proses-proses pembentukan tanah, makin lama makin intensif. Mohr dan van Baren membedakan 5 fase pembentukan tanah, yaitu:
(1)   Fase awal, dengan indikator bahan induk yang masih belum mengalami proses pelapukan, baik disintegrasi maupun dekomposisi;
(2)   Fase juvenil, dengan indikator bahan induk yang telah mulai mengalami proses pelapukan, tetapi sebagian besar masih asli;
(3)   Fase viril, diindikasikan oleh optimumnya laju proses pelapukan, kebanyakan bebatuan telah mulai pecah, mineral-mineral sekunder telah terbentuk sehingga kadar liat meningkat;
(4)   Fase senil, diindikasikan oleh proses pelapukan yang telah lanjut, yaitu laju kecepatan proses yang mulai menurun, dan mineral-mineral tahan lapuk masih bertahan; serta
(5)   Fase akhir, ditandai oleh berakhirnya proses pelapukan.

Di indonesia, berdasarkan urutan fase-fase ini maka dari bahan induk bebatuan andesit terbentuk: (1) tanah regosol muda pada fase awal, (2) tanah Regosol tua (tanah Tarapan) pada fase juvenil, (3) tanah Latosol Coklat pada fase viril, (4) tanah Latosol Merah pada fase senil dan (5) tanah Laterit pada fase akhir. Di daerah beriklim tropika seperti Indonesia, proses pembentukan tanahdari bahan induk berupa abu gunung berlangsung lebih cepat, sehingga dalam waktu 14 tahun sudah terrbentuk tanah subur yang jika ditumbuhi vegetasi dapat mengandung 2% bahan organik. Namun pada tanah bera, unsur-unsur yang terkandung terlindi oleh air hujan sehingga terbentuk tanah Latosol yang relatif miskin hara (Darmawijaya, 1990).
            Oleh karena waktu merupakan faktor pasif, suatu jenis tanah yang sama tetapi berasal dari bahan induk dan iklim yang berbeda dapat mempunyai umur yang tidak sama atau sebaliknya, maka kematangan suatu jenis tanah tidak saja tergantung umurnya tetapi  lebih tergantung pada kelengkapan horizonnya. Tanah-tanah muda dicirikan oleh horizon yang baru berkembang dan tanah-tanah dewasa dicirikan oleh horizon yang lengkap, sedangkan tanah-tanah tua dicirikan oleh horizon-horizon lapisan atas yang menipis atau hilang sama sekali.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar