Rabu, 05 Oktober 2011

filsafat ilmu

v  Pemikiran Para Ahli Filsafat Yunani Kuno

Kata falsafah atau filsafat dalam bahasa Indonesia merupakan kata serapan dari bahasa Arab yang juga diambil dari bahasa Yunani;philosophia. Dalam bahasa ini, kata ini merupakan
kata majemuk dan berasal dari kata-kata (philia = persahabatan, cinta dsb.) dan (sophia = "kebijaksanaan"). Sehingga arti harafiahnya adalah seorang “pencinta kebijaksanaan”. Kata filosofi yang dipungut dari bahasa Belanda juga dikenal di Indonesia. Bentuk terakhir ini lebih mirip dengan aslinya. Dalam bahasa Indonesia seseorang yang mendalami bidang falsafah disebut "filsuf".
Pengertian filsafat secara terminologi sangat beragam. Para filsuf merumuskan pengertian filsafat sesuai dengan kecenderungan pemikiran kefilsafatan yang dimilikinya. Seorang Plato mengatakan bahwa : Filsafat adalah pengetahuan yang berminat mencapai pengetahuan kebenaran yang asli. Sedangkan muridnya Aristoteles berpendapat kalau filsafat adalah ilmu ( pengetahuan ) yang meliputi kebenaran yang terkandung didalamnya ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik, dan estetika. Lain halnya dengan Al Farabi yang berpendapat bahwa filsafat adalah ilmu ( pengetahuan ) tentang alam maujud bagaimana hakikat yang sebenarnya. Berikut ini disajikan beberapa pengertian Filsafat menurut beberapa para ahli :
1.Prof. Mr.Mumahamd Yamin:
Filsafat ialah pemusatan pikiran , sehingga manusia menemui kepribadiannya seraya
didalam kepribadiannya itu dialamiya kesungguhan.
2.Prof.Dr.Ismaun, M.Pd. :
Filsafat ialah usaha pemikiran dan renungan manusia dengan akal dan qalbunya secara sungguh-sungguh , yakni secara kritis sistematis, fundamentalis, universal, integral dan radikal untuk mencapai dan menemukan kebenaran yang hakiki (pengetahuan, dan kearifan atau kebenaran yang sejati.
3.Harold H. Titus (1979 ) :
Filsafat adalah sekumpulan sikap dan kepecayaan terhadap kehidupan dan alam yang
biasanya diterima secara tidak kritis. Filsafat adalah suatu proses kritik atau pemikiran
Istilah filsafat memiliki cinta pada kebijaksanaan atau cinta pada pengetahuan. Para filsuf alam mengemukakan pandangannya tentang dasar atau asal mula segala sesuatu serta peristiwa yang terdapat dalam alam ini. Asal atau dasar segala sesuatu ialah air menurut Thales, udara menurut Anaximenes, api menurut Herakleitos, bilangan atau angka menurut pendapat Phytagoras, atom-atom dan ruang kosong menurut pendapat Leukippos dan Demokritos, dan empat unsur utama menurut pendapat Empedokles. Pandangan lain dikemukakan oleh tiga orang filsuf besar, yaitu Sokrates, Plato, dan Aristoteles. Bagi Sokrates yang merupakan asas hidup manusia adalah jiwa. Plato berpendapat adanya dunia ide yang merupakan dasar dari segala realitas yang tampak, sedangkan Aristoteles mengemukakan pentingnya logika bagi perkembangan pemikiran manusia menuju kepada kebenaran.
v  Kajian Filsafat
Definisi kata filsafat bisa dikatakan sebagai sebuah problem falsafi pula. Tetapi, paling tidak bisa dikatakan bahwa “filsafat” adalah studi yang mempelajari seluruh fenomena kehidupan dan pemikiran manusia secara kritis dan mendasar (radikal).
Kerapkali ilmu filsafat dipandang sebagai ilmu yang abstrak dan berada di awang-awang (tidak mendarat) saja, padahal ilmu filsafat itu dekat dan berada dalam kehidupan kita sehari-hari. Benar, filsafat bersifat tidak konkrit (atau lebih bisa dikatakan tidak tunggal), karena menggunakan metode berpikir sebagai cara pergulatannya dengan realitas hidup kita.
Ini didalami tidak dengan melakukan eksperimen-eksperimen dan percobaan-percobaan, tetapi dengan mengutarakan problem secara persis, mencari solusi untuk itu, memberikan argumentasi dan alasan yang tepat untuk solusi tertentu, serta akhir dari proses-proses itu dimasukkan ke dalam sebuah proses dialektik. Dialektik ini secara singkat bisa dikatakan merupakan sebuah bentuk dialog. Untuk studi falsafi, mutlak diperlukan logika berpikir dan logika bahasa
Banyak pengertian-pengertian atau definisi-definisi tentang filsafat yang telah dikemukakan oleh para filsuf. Menurut Merriam-Webster (dalam Soeparmo, 1984), filsafat merupakan pengetahuan tentang kenyataan-kenyataan yang paling umum dan kaidah-kaidah realitas serta hakekat manusia dalam segala aspek perilakunya seperti: logika, etika, estetika dan teori pengetahuan.
Beberapa filsuf mengajukan beberapa definitif pokok filsafat seperti: Upaya spekulatif untuk menyajikan suatu pandangan sistematik serta lengkap tentang seluruh realitas. Upaya untuk melukiskan hakekat realitas akhir dan dasar serta nyata, Upaya untuk menentukan batas-batas jangkauan pengetahuan: sumbernya, hakekatnya, keabsahannya, dan nilainya. Penyelidikan kritis dan radikal atas pengandaian-pengandaian dan pernyataan-pernyataan yang diajukan oleh berbagai bidang pengetahuan. Sesuatu yang berupaya untuk membantu kita melihat apa yang kita katakan dan untuk mengatakan apa yang kita lihat.
Kalau menurut tradisi filsafati yang diambil dari zaman Yunani Kuno, orang yang pertama memakai istilah philosophia dan philosophos ialah Pytagoras (592-497 S.M.), setelah dia membaca tulisan Herakleides Pontikos (penganut ajaran Aristoteles) yang memakai kata sophia. Pytagoras menganggap dirinya “philosophos” (pencinta kearifan). Baginya kearifan yang sesungguhnya hanyalah dimiliki semata-mata oleh Tuhan.
Kata falsafah atau filsafat dalam bahasa Indonesia merupakan kata serapan dari bahasa Arab فلسة, yang juga diambil dari bahasa Yunani; philosophia (Φιλοσοφία) Dalam bahasa ini, kata tersebut merupakan kata majemuk dan berasal dari kata-kata (philia = persahabatan, cinta dsb.) dan (sophia = “kebijaksanaan”). Sehingga arti harafiahnya adalah seorang “pencinta kebijaksanaan” atau “ilmu”. Kata filosofi yang dipungut dari bahasa Belanda juga dikenal di Indonesia. Bentuk terakhir ini lebih mirip dengan aslinya. Dalam bahasa Indonesia seseorang yang mendalami bidang falsafah disebut “filsuf”.
Dalam istilah Inggris, philosophy, yang berarti filsafat, juga berasal dari kata Yunani “philosophia” yang lazim diterjemahkan ke dalam bahasa tersebut sebagai cinta kearifan. Menurut pengertiannya yang semula dari zaman Yunani Kuno itu, filsafat berarti cinta kearifan. Namun, cakupan pengertian sophia yang semula itu ternyata luas sekali. Dahulu sophia tidak hanya berarti kearifan saja, melainkan meliputi pula kebenaran pertama, pengetahuan luas, kebajikan intelektual, pertimbangan sehat sampai kepandaian pengrajin dan bahkan kecerdikkan dalam memutuskan soal-soal praktis (The Liang Gie, 1999).
Filsafat adalah usaha untuk memahami atau mengerti semesta dalam hal makna (hakikat) dan nilai-nilainya (esensi) yang tidak cukup dijangkau hanya dengan panca indera manusia sekalipun.Bidang filsafat sangatlah luas dan mencakup secara keseluruhan sejauh dapat dijangkau oleh pikiran. Filsafat berusaha untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang asal mula dan sifat dasar alam semesta tempat manusia hidup serta apa yang merupakan tujuan hidupnya. Filsafat menggunakan bahan-bahan dasar deskriptif yang disajikan bidang-bidang studi khusus dan melampaui deskripsi tersebut dengan menyelidiki atau menanyakan sifat dasarnya, nila-nilainya dan kemungkinannya.Tujuannya adalah pemahaman dan kebijaksanaan. Karena itulah filsafat merupakan pendekatan yang menyeluruh terhadap kehidupan dan dunia. Suatu bidang yang berhubungan erat dengan bidang-bidang pokok pengalaman manusia.
A.  Pengertian Filsafat
Kata filsafat berasal dari bahasa Yunani”philosophia”. Seiring perkembangan zaman akhirnya dikenal juga dalam berbagai bahasa, seperti : ”philosophic” dalam kebudayaan bangsa Jerman, Belanda, dan Perancis; “philosophy” dalam bahasa Inggris; “philosophia” dalam bahasa Latin; dan “falsafah” dalam bahasa Arab. Selanjutnya, beberapa ahli coba mendefinisikan arti dari filsafat itu, antara lain :
·         Plato ( 428 -348 SM ) : Filsafat tidak lain dari pengetahuan tentang segala yang ada.
·         Aristoteles ( (384 – 322 SM) : Bahwa kewajiban filsafat adalah menyelidiki sebab dan asas segala benda. Dengan demikian filsafat bersifat ilmu umum sekali. Tugas penyelidikan tentang sebab telah dibagi sekarang oleh filsafat dengan ilmu.
·         Sidi Gazalba: Berfilsafat ialah mencari kebenaran dari kebenaran untuk kebenaran , tentang segala sesuatu yang dimasalahkan, dengan berpikir radikal, sistematik dan universal.
·         Prof.Dr.Ismaun, M.Pd. : Filsafat ialah usaha pemikiran dan renungan manusia dengan akal dan qalbunya secara sungguh-sungguh , yakni secara kritis sistematis, fundamentalis, universal, integral dan radikal untuk mencapai dan menemukan kebenaran yang hakiki (pengetahuan, dan kearifan atau kebenaran yang sejati.
·         Notonegoro: Filsafat menelaah hal-hal yang dijadikan objeknya dari sudut intinya yang mutlak, yang tetap tidak berubah , yang disebut hakekat.

Dari beberapa definisi di atas, saya dapat menyimpulkan bahwa filsafat adalah ilmu yang mengkaji tentang suatu hal secara mendetail atau mendalam dan juga sistematis untuk mendapatkan kebenaran yang hakiki.

B. Beberapa Pandangan dan Cabang Filsafat
Pandangan euristi menyatakan bahwa realitas yang tampak oleh indera manusia adalah bayangan dari euristi idea yang merupakan realitas yang fundamental. Implikasi dari pandangan ini ialah adanya kecenderungan dari kelompok yang mengikutinya untuk menghormati budaya dan tradisi serta hal-hal yang bersifat spiritual. Humanisme memiliki dua arah, yakni euristi individu dan euristi euris. Humanisme individu mengutamakan kemerdekaan berpikir, mengemukakan pendapat, dan berbagai aktivitas yang kreatif. Kemampuan ini disalurkan melalui kesenian, kesusastraan, euri, teknologi, dan penguasaan tentang ilmu kealaman. Humanisme euris mengutamakan pendidikan bagi masyarakat keseluruhan untuk kesejahteraan euris dan perbaikan hubungan antarmanusia. Aliran empirisme berpandangan bahwa pernyataan yang tidak dapat dibuktikan melalui pengalaman adalah tanpa arti. Ilmu harus dapat diuji melalui pengalaman. Dengan demikian kebenaran yang diperoleh bersifat a posteriori yang berarti post to experience. Para penganut rasionalisme berpandangan bahwa satu-satunya sumber pengetahuan yang dapat dipercaya adalah rasio (akal) seseorang. Kritisisme menjembatani kedua pandangan yaitu rasionalisme dan empirisme. Empirisme menghasilkan keputusan-keputusan yang bersifat sintetis yang tidak bersifat mutlak, sedangkan rasionalisme memberikan keputusan yang bersifat analitis. Berpikir merupakan proses penyusunan keputusan yang terdiri dari subjek dan predikat. Konstruktivisme intinya adalah bahwa pengetahuan seseorang itu merupakan hasil konstruksi individu melalui interaksinya dengan objek, fenomena, pengalaman, dan lingkungannya. Filsafat dibagi dalam beberapa cabang atau bagian filsafat, yaitu euristicgy, metafisika, logika, etika, estetika, dan filsafat ilmu. Epistemologi membahas hal-hal yang bersifat mendasar tentang pengetahuan. Metafisika dikemukakan oleh Andronikos dari kumpulan tulisan Aristoteles yang membahas hakikat berbagai realitas yang diamati oleh manusia dalam dunia nyata. Logika menekankan pentingnya penalaran dalam upaya menuju kepada kebenaran. Etika disebut juga sebagai filsafat moral karena menitikberatkan pembahasannya pada masalah baik dan buruk, kesusilaan dalam kehidupan masyarakat. Estetika menekankan pada pembahasan keindahan, sedangkan filsafat llmu membahas hakikat ilmu, penerapan metode filsafat untuk menemukan alas realitas yang dipersoalkan oleh ilmu.
C. Filsafat Ilmu
Filsafat ilmu merupakan bagian dari epistemology (filsafat pengetahuan) yang secara spesifik mengkaji hakikat ilmu (pengetahuan ilmiah). Sedangkan Ilmu merupakan cabang pengetahuan yang mempunyai euri-ciri tertentu. Menurut The Liang Gie (1999), filsafat ilmu adalah segenap pemikiran reflektif terhadap persoalan-persoalan mengenai segala hal yang menyangkut landasan ilmu maupun hubungan ilmu dengan segala segi dari kehidupan manusia. Filsafat ilmu merupakan suatu bidang pengetahuan campuran yang eksistensi dan pemekarannya bergantung pada hubungan eurist-balik  dan saling-pengaruh antara filsafat dan ilmu.
Sehubungan dengan pendapat tersebut bahwa filsafat ilmu merupakan penerusan pengembangan filsafat pengetahuan. Objek dari filsafat ilmu adalah ilmu pengetahuan. Oleh karena itu setiap saat ilmu itu berubah mengikuti perkembangan zaman dan keadaan tanpa meninggalkan pengetahuan lama. Pengetahuan lama tersebut akan menjadi pijakan untuk mencari pengetahuan baru. Hal ini senada dengan ungkapan dari Archie J.Bahm (1980)  bahwa ilmu pengetahuan (sebagai teori) adalah sesuatu yang selalu berubah.
Dalam perkembangannya filsafat ilmu mengarahkan pandangannya pada strategi pengembangan ilmu yang menyangkut etik dan euristic. Bahkan sampai pada dimensi kebudayaan untuk menangkap tidak saja kegunaan atau kemanfaatan ilmu, tetapi juga arti maknanya bagi kehidupan manusia (Koento Wibisono dkk., 1997). Oleh karena itu, diperlukan perenungan kembali secara mendasar tentang hakekat dari ilmu pengetahuan itu bahkan hingga implikasinya ke bidang-bidang kajian lain seperti ilmu-ilmu kealaman.
Dengan demikian setiap perenungan yang mendasar, mau tidak mau mengantarkan kita untuk masuk ke dalam kawasan filsafat. Menurut Koento Wibisono (1984), filsafat dari sesuatu segi dapat didefinisikan sebagai ilmu yang berusaha untuk memahami hakekat dari sesuatu “ada” yang dijadikan objek sasarannya, sehingga filsafat ilmu pengetahuan yang merupakan salah satu cabang filsafat dengan sendirinya merupakan ilmu yang berusaha untuk memahami apakah hakekat ilmu pengetahuan itu sendiri.
Dengan memahami hakekat ilmu itu, menurut Poespoprodjo (dalam Koento Wibisono, 1984), dapatlah dipahami bahwa perspektif-perspektif ilmu, kemungkinan-kemungkinan pengembangannya, keterjalinannya antar ilmu, simplifikasi dan artifisialitas ilmu dan lain sebagainya, yang vital bagi penggarapan ilmu itu sendiri. Lebih dari itu, dikatakan bahwa dengan filsafat ilmu, kita akan didorong untuk memahami kekuatan serta keterbatasan metodenya, prasuposisi ilmunya, logika validasinya, struktur pemikiran ilmiah dalam konteks dengan realitas in conreto sedemikian rupa sehingga seorang ilmuwan dapat terhindar dari kecongkakan serta kerabunan intelektualnya.

D.  Sejarah Perkembangan Filsafat Ilmu
Sejarah ilmu pengetahuan adalah studi tentang sejarah perkembangan pemahaman manusia dari alam  Sampai akhir abad 20 sejarah ilmu pengetahuan, khususnya ilmu-ilmu fisik dan biologi, dipandang sebagai narasi merayakan kemenangan teori benar atas salah. Science was portrayed as a major dimension of the progress of civilization. Ilmu digambarkan sebagai dimensi utama dari kemajuan peradaban. In recent decades, postmodern views, especially influenced by Thomas Kuhn , The Structure of Scientific Revolutions (1962), the history is seen in terms of competing paradigms or conceptual systems battling for intellectual supremacy in a wider matrix that includes intellectual, cultural, economic and political themes outside pure science. Pada dekade belakangan ini, pandangan postmodern, terutama dipengaruhi oleh Thomas Kuhn , Struktur Scientific Revolutions (1962), sejarah dilihat dari segi paradigma bersaing atau sistem konseptual berjuang untuk supremasi intelektual dalam matriks yang lebih luas yang mencakup intelektual, budaya, ekonomi dan tema politik luar sains murni. New attention is paid to science outside the context of Western Europe. Baru perhatian yang dibayarkan kepada ilmu di luar konteks Eropa Barat.
Ilmu adalah tubuh empiris , teoritis , dan praktis pengetahuan tentang dunia alam , yang dihasilkan oleh para peneliti memanfaatkan metode ilmiah , yang menekankan pengamatan, penjelasan , dan prediksi dunia nyata fenomena oleh eksperimen Mengingat dua status ilmu sebagai tujuan pengetahuan dan sebagai membangun, baik manusia historiografi ilmu mengacu pada metode sejarah dari kedua sejarah intelektual dan sejarah sosial .
Menelusuri asal-usul yang tepat dari ilmu pengetahuan modern adalah mungkin melalui teks penting banyak yang selamat dari dunia klasik. However, the word scientist is relatively recent—first coined by William Whewell in the 19th century. Namun, kata ilmuwan relatif baru-pertama kali dicetuskan oleh William Whewell pada abad ke-19.
Sementara empiris investigasi dari dunia alam telah dijelaskan sejak zaman klasik (misalnya, dengan Thales , Aristoteles , dan lain-lain), dan metode ilmiah telah digunakan sejak Abad Pertengahan (misalnya, oleh Ibn al-Haytham , Abu Rayhan al- Biruni dan Roger Bacon ), fajar sains modern umumnya ditelusuri kembali ke masa modern awal , selama apa yang dikenal sebagai Revolusi Ilmiah yang terjadi di abad ke-17 Eropa dan 16.
Metode ilmiah dianggap begitu penting untuk ilmu pengetahuan modern bahwa beberapa - terutama filsuf ilmu pengetahuan dan berlatih ilmuwan - mempertimbangkan pertanyaan sebelumnya ke alam menjadi pra-ilmiah. Secara tradisional, sejarawan ilmu telah mendefinisikan ilmu pengetahuan cukup luas untuk mencakup mereka pertanyaan.
Ø  Munculnya Filsafat
Akibat dari berkembangnya kesusasteraan Yunani dan masuknya ilmu pengetahuan serta semakin hilangnya kepercayaan akan kebenaran yang diberikan oleh pemikiran keagamaan, peran mitologi yang sebelumnya mengikat segala aspek pemikiran kemudian secara perlahan-lahan digantikan oleh logos (rasio/ ilmu).
Pada saat inilah, para filsofof kemudian mencoba memandang dunia dengan cara yang lain yang belum pernah dipraktekkan sebelumnya, yaitu berpikir secara ilmiah. Dalam mencari keterangan tentang alam semesta, mereka melepaskan diri dari hal-hal mistis yang secara turun-temurun diwariskan oleh tradisi. Dan selanjutnya mereka mulai berpikir sendiri. Di balik aneka kejadian yang diamati secara umum, mereka mulai mencari suatu keterangan yang memungkinkan mereka mampu mengerti kejadian-kejadian itu. Dalam artian inilah, mulai ada kesadaran untuk mendekati problem dan kejadian alam semesta secara logis dan rasional.
Sebab hanya dengan cara semacam ini, terbukalah kemungkinan bagi pertanyaan-pertanyaan lain dan penilaian serta kritik dalam memahami alam semesta. Semangat inilah yang memunculkan filosof-filosof pada jaman Yunani. Filsafat dan ilmu menjadi satu.
Filsafat, terutama Filsafat Barat, muncul di Yunani semenjak kira-kira abad ke 7 S.M.. Filsafat muncul ketika orang-orang mulai berfikir-fikir dan berdiskusi akan keadaan alam, dunia, dan lingkungan di sekitar mereka dan tidak menggantungkan diri kepada agama pada saat itu yang dianggap sebagai “tirai besi keilmuan” lagi untuk mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini.
Banyak yang bertanya-tanya mengapa filsafat muncul di Yunani dan tidak di daerah yang berberadaban lain kala itu seperti Babilonia, Yudea (Israel) atau Mesir. Jawabannya sederhana: di Yunani, tidak seperti di daerah lain-lainnya tidak ada kasta pendeta sehingga secara intelektual orang lebih bebas.
v  Sejarah Perkembangan Awal Filsafat Dunia
Meski istilah philosophia (Φιλοσοφία) pertama kali dimunculkan oleh Pythagoras, namun orang Yunani pertama yang bisa diberi gelar filsuf ialah Thales (640-546 S.M.) dari Mileta (sekarang di pesisir barat Turki). Ia merupakan seorang Filsuf yang mendirikan aliran filsafat alam semesta atau kosmos dalam perkataan Yunani. Menurut aliran filsafat kosmos, filsafat adalah suatu penelaahan terhadap alam semesta untuk mengetahui asal mulanya, unsur-unsurnya dan kaidah-kaidahnya (The Liang Gie, 1999).
Dalam buku History and Philosophy of Science karangan L.W.H. Hull (1950), menulis setidaknya sejarah filsafat dan ilmu dapat dibagi dalam beberapa periode, termasuk di dalamnya tokoh-tokoh yang terkenal pada periode itu.


v  Periode pertama, filsafat Yunani abad 6 SM
Pada masa ini ahli filsafatnya adalah Thales, Anaximandros, dan Anaximenes yang dianggap sebagai bapak-bapak fisafat dari Mileta. Thales berpendapat bahwa sumber kehidupan adalah air. Makhluk yang pertama kali hidup adalah ikan dan menusia yang pertama kali terlahir dari perut ikan. Thales juga berpendapat bahwa bumi terletak di atas air. Tentang bumi, Anaximandros mengatakan bahwa bumi persis berada di pusat jagat raya dengan jarak yang sama terhadap semua badan yang lain. Sementara Anaximenes dapat dikatakan sebagai pemikir pertama yang mengemukakan persamaan antara tubuh manusia dan jagat raya. Udara di alam semesta ibarat jiwa yang dipupuk dengan pernapasan di dalam tubuh manusia.
Setelah mereka bertiga, Yunani kemudian memiliki pemikir-pemikir terkenal yang lebih berpengaruh lagi terhadap perkembangan fisafat, seperti Socrates, Plato, Aristoteles, Phythagoras, Hypocrates, dan lain sebagainya.
v  Periode Kedua, Periode setelah kelahiran Al Masih (Abad 0-6 M)
Pada masa ini pertentangan antara gereja yang diwakili oleh para pastur dan para raja yang pro kepada gereja, dengan para ulama filsafat. Sehingga pada masa ini filsafat mengalami kemunduran. Para raja membatasi kebebasan berfikir sehingga filsafat seolah-olah telah mati suri. Ilmu menjadi beku, kebenaran hanya menjadi otoritas gereja, gereja dan para raja yang berhak mengatakan dan menjadi sumber kebenaran.
v  Periode Ketiga, Periode kejayaan Islam (Abad 6-13 M)
Pada masa ini dunia Kristen Eropa mengalami abad kegelapan, ada juga yang menyatakan periode ini sebagai periode pertengahan. Masa keemasan atau kebangkitan Islam ditandai dengan banyaknya ilmuan-ilmuan Islam yang ahli dibidang masing-masing, berbagai buku inilah diterbitkan dan ditulis. Di antara tokoh-tokoh tersebut adalah Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hanbali yang ahli dalam hokum Islam, Al-farabi ahli astronomi dan matematika, Ibnu Sina ahli kedokteran dengan buku terkenalnya yaitu The Canon of Medicine. Al-kindi ahli filsafat, Al-ghazali intelek yang meramu berbagai ilmu sehingga menjadi kesatuan dan kesinambungan dan mensintesis antara agama, filsafat, mistik dan sufisme . Ibnu Khaldun ahali sosiologi, filsafat sejarah, politik, ekonomi, social dan kenegaraan. Anzahel ahli dan penemu teori peredaran planet. Tetapi setelah perang salib terjadi umat Islam mengalami kemundurran, umat Islam dalam keadaan porak-poranda oleh berbagai peperangan.
Terdapat 2 pendapat mengenai sumbangan peradaban Islam terhadap filsafat dan ilmu pengetahuan, yang terus berkembang hingga saat ini. Pendapat pertama mengatakan bahwa orang Eropa belajar filsafat dari filosof Yunani seperti Aristoteles, melalui kitab-kitab yang disalin oleh St. Agustine (354 – 430 M), yang kemudian diteruskan oleh Anicius Manlius Boethius (480 – 524 M) dan John Scotus. Pendapat kedua menyatakan bahwa orang Eropah belajar filsafat orang-orang Yunani dari buku-buku filasafat Yunani yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh filosof Islam seperti Al-Kindi dan Al-Farabi. Terhadap pendapat pertama Hoesin (1961) dengan tegas menolaknya, karena menurutnya salinan buku filsafat Aristoteles seperti Isagoge, Categories dan Porphyry telah dimusnahkan oleh pemerintah Romawi bersamaan dengan eksekusi mati terhadap Boethius, yang dianggap telah menyebarkan ajaran yang dilarang oleh negara. Selanjutnya dikatakan bahwa seandainya kitab-kitab terjemahan Boethius menjadi sumber perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan di Eropa, maka John Salisbury, seorang guru besar filsafat di Universitas Paris, tidak akan menyalin kembali buku Organon karangan Aristoteles dari terjemahan-terjemahan berbahasa Arab, yang telah dikerjakan oleh filosof Islam.
Sebagaimana telah diketahui, orang yang pertama kali belajar dan mengajarkan filsafat dari orang-orang sophia atau sophists (500 – 400 SM) adalah Socrates (469 – 399 SM), kemudian diteruskan oleh Plato (427 – 457 SM). Setelah itu diteruskan oleh muridnya yang bernama Aristoteles (384 – 322 SM). Setelah zaman Aristoteles, sejarah tidak mencatat lagi generasi penerus hingga munculnya Al-Kindi pada tahun 801 M. Al-Kindi banyak belajar dari kitab-kitab filsafat karangan Plato dan Aristoteles. Oleh Raja Al-Makmun dan Raja Harun Al-Rasyid pada Zaman Abbasiyah, Al-Kindi diperintahkan untuk menyalin karya Plato dan Aristoteles tersebut ke dalam Bahasa Arab.
v  Periode Keempat, Periode kebangkitan Eropa (Abad 12-17)
Bersamaannya dengan mundurnya kebudayaan Islam, Eropah mengalami kebangkitan. Pada masa ini, buku-buku filsafat dan ilmu pengetahuan karangan dan terjemahan filosof Islam seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina dan Ibnu Rushd diterjemahkan ke dalam Bahasa Latin. Pada zaman itu Bahasa Latin menjadi bahasa kebudayaan bangsa-bangsa Eropah. Penterjemahan karya-karya kaum muslimin antara lain dilakukan di Toledo, ketika Raymund menjadi uskup Besar Kristen di Toledo pada Tahun 1130 – 1150 M. Hasil terjemahan dari Toledo ini menyebar sampai ke Italia. Dante menulis Divina Comedia setelah terinspirasi oleh hikayat Isra dan Mikraj Nabi Muhammad SAW. Universitas Paris menggunakan buku teks Organon karya Aristoteles yang disalin dari Bahasa Arab ke dalam Bahasa Latin oleh John Salisbury pada tahun 1182.
Seperti halnya yang dilakukan oleh pemuka agama Islam, berkembangnya filsafat ajaran Ibnu Rushd dianggap dapat membahayakan iman kristiani oleh para pemuka agama Kristen, sehingga sinode gereja mengeluarkan dekrit pada Tahun 1209, lalu disusul dengan putusan Papal Legate pada tahun 1215 yang melarang pengajaran dan penyebaran filsafat ajaran Ibnu Rushd.
Pada Tahun 1215 saat Frederick II menjadi Kaisar Sicilia, ajaran filsafat Islam mulai berkembang lagi. Pada Tahun 1214, Frederick mendirikan Universitas Naples, yang kemudian memiliki akademi yang bertugas menterjemahkan kitab-kitab berbahasa Arab ke dalam Bahasa latin. Pada tahun 1217 Frederick II mengutus Michael Scot ke Toledo untuk mengumpulkan terjemahan-terjemahan filsafat berbahasa latin karangan kaum muslimin. Berkembangnya ajaran filsafat Ibnu Rushd di Eropah Barat tidak lepas dari hasil terjemahan Michael Scot. Banyak orientalis menyatakan bahwa Michael Scot telah berhasil menterjemahkan Komentar Ibnu Rushd dengan judul de coelo et de mundo dan bagian pertama dari Kitab Anima.

v  Periode Filsafat Modern (Abad 17-20 M)
Dikenal Juga sebagai abad Äufklarung. Pada masa ini Kristen yang berkuasa dan menjadi sumber otoritas kebenaran mengalami kehancuran, dan juga awal abad kemunduran bagi umat Islam. Berbagai pemikiran Yunani muncul, alur pemikiran yang mereka anut adalah rasionalitas, empirisrme, dan Kritisme. Peradaban Eropa bangkit melampaui dunia islam. Masa ini juga memunculkan intelektual Gerard Van Cromona yang menyalin buku Ibnu Sina, ”The canon of medicine”, Fransiscan Roger Bacon, yang menganut aliran pemikiran empirisme dan realisme berusaha menentang berbagai kebijakan gereja dan penguasa pada waktu itu. Dalam hal ini Galileo dan Copernicus juga mengalami penindasan dari penguasa. Masa ini juga menyebabkan perpecahan dalam agama Kristen, yaitu Kristen Katolik dan Protestan. Perlawanan terhadap gereja dan raja yang menindas terus berlangsung Revolusi ilmu pengetahuan makin gencar dan meningkat. Pada masa ini banyak muncul para ilmuwan seperti Newton dengan teori gravitasinya, John Locke yang menghembuskan perlawanan kepada pihak gereja dengan mengemukakan bahwa manusia bebas untuk berbicara, bebas mengeluarkan pendapat, hak untuk hidup, hak untuk merdeka, serta hak berfikir. Hal serupa juga dilakuklan ole J.J .Rousseau mengecam penguasa dalam bukunya yang berjudul Social Contak.
Hal berbeda terjadi didunai Islam, pada masa ini umat Islam tertatih untuk bangkit dari keterpurukan spiritual. Intelektual Islam yang gigih menyeru umat Islam untuk kembali pada ajaran al-Quran dan Hadis. Pada masa krisis moral dan peradaban muncul ilmuwan lainnya yaitu Muhammad Abduh. Muhammad Abduh berusaha membangkitkan umat Islam untuk menggunakan akalnya. Ia berusaha mengikis habis taklid. Hal tersebut dilakukan oleh Muhammad Abduh agara umat Islam menemukan ilmu yang berasal dari al-Quran dan hadis.
Para filsuf zaman modern menegaskan bahwa pengetahuan tidak berasal dari kitab suci atau ajaran agama, tidak juga dari para penguasa, tetapi dari diri manusia sendiri. Namun tentang aspek mana yang berperan ada beda pendapat. Aliran rasionalisme beranggapan bahwa sumber pengetahuan adalah rasio: kebenaran pasti berasal dari rasio (akal). Aliran empirisme, sebaliknya, meyakini pengalamanlah sumber pengetahuan itu, baik yang batin, maupun yang inderawi. Lalu muncul aliran kritisisme, yang mencoba memadukan kedua pendapat berbeda itu.
Aliran rasionalisme dipelopori oleh Rene Descartes (1596-1650 M). Dalam buku Discourse de la Methode tahun 1637 ia menegaskan perlunya ada metode yang jitu sebagai dasar kokoh bagi semua pengetahuan, yaitu dengan menyangsikan segalanya, secara metodis. Kalau suatu kebenaran tahan terhadap ujian kesangsian yang radikal ini, maka kebenaran itu 100% pasti dan menjadi landasan bagi seluruh pengetahuan.
Tetapi dalam rangka kesangsian yang metodis ini ternyata hanya ada satu hal yang tidak dapat diragukan, yaitu “saya ragu-ragu”. Ini bukan khayalan, tetapi kenyataan, bahwa “aku ragu-ragu”. Jika aku menyangsikan sesuatu, aku menyadari bahwa aku menyangsikan adanya. Dengan lain kata kesangsian itu langsung menyatakan adanya aku. Itulah “cogito ergo sum”, aku berpikir ( menyadari) maka aku ada. Itulah kebenaran yang tidak dapat disangkal lagi. — Mengapa kebenaran itu pasti? Sebab aku mengerti itu dengan “jelas, dan terpilah-pilah” — “clearly and distinctly”, “clara et distincta”. Artinya, yang jelas dan terpilah-pilah itulah yang harus diterima sebagai benar. Dan itu menjadi norma Descartes dalam menentukan kebenaran.
Descartes adalah pelopor kaum rasionalis, yaitu mereka yang percaya bahwa dasar semua pengetahuan ada dalam pikiran.
Aliran empririsme nyata dalam pemikiran David Hume (1711-1776), yang memilih pengalaman sebagai sumber utama pengetahuan. Pengalaman itu dapat yang bersifat lahirilah (yang menyangkut dunia), maupun yang batiniah (yang menyangkut pribadi manusia). Oleh karena itu pengenalan inderawi merupakan bentuk pengenalan yang paling jelas dan sempurna.
Hume merupakan pelopor para empirisis, yang percaya bahwa seluruh pengetahuan tentang dunia berasal dari indera. Menurut Hume ada batasan-batasan yang tegas tentang bagaimana kesimpulan dapat diambil melalui persepsi indera kita.
Adapun Kritisisme oleh Imanuel Kant (1724-1804) mencoba mengembangkan suatu sintesis atas dua pendekatan yang bertentangan ini. Kant berpendapat bahwa masing-masing pendekatan benar separuh, dan salah separuh. Benarlah bahwa pengetahuan kita tentang dunia berasal dari indera kita, namun dalam akal kita ada faktor-faktor yang menentukan bagaimana kita memandang dunia sekitar kita. Ada kondisi-kondisi tertentu dalam manusia yang ikut menentukan konsepsi manusia tentang dunia. Kant setuju dengan Hume bahwa kita tidak mengetahui secara pasti seperti apa dunia “itu sendiri” (”das Ding an sich”), namun hanya dunia itu seperti tampak “bagiku”, atau “bagi semua orang”. Namun, menurut Kant, ada dua unsur yang memberi sumbangan kepada pengetahuan manusia tentang dunia. Yang pertama adalah kondisi-kondisi lahirilah ruang dan waktu yang tidak dapat kita ketahui sebelum kita menangkapnya dengan indera kita. Ruang dan waktu adalah cara pandang dan bukan atribut dari dunia fisik. Itu materi pengetahuan. Yang kedua adalah kondisi-kondisi batiniah dalam manusia mengenai proses-proses yang tunduk kepada hukum kausalitas yang tak terpatahkan. Ini bentuk pengetahuan. Demikian Kant membuat kritik atas seluruh pemikiran filsafat, membuat suatu sintesis, dan meletakkan dasar bagi aneka aliran filsafat masa kini.
Begitulah pergulatan antar aliran filsafat Modern. Rasionalist diwakili Descartes, Empirist diwakili Hume, dan Kritisme oleh Kant saling menkritik satu sama lain.
Masyarakat primitif menganut pemikiran mitosentris yang mengandalkan mitos guna menjelaskan fenomena alam. Perubahan pola pikir dari mitosentris menjadi logo-sentris membuat manusia bisa membedakan kondisi riil dan ilusi, sehingga mampu ke-luar dari mitologi dan memperoleh dasar pengetahuan ilmiah. Ini adalah titik awal ma-nusia menggunakan rasio untuk meneliti serta mempertanyakan dirinya dan alam raya. 1. Filsafat kuno dan abad pertengahan Di masa ini, pertanyaan tentang asal usul alam mulai dijawab dengan pendekat-an rasional, tidak dengan mitos. Subjek (manusia) mulai mengambil jarak dari objek (alam) sehingga kerja logika (akal pikiran) mulai dominan. Sebelum era Socrates, kaji-an difokuskan pada alam yang berlandaskan spekulasi metafisik. Menurut Heraklitos (535-475 SM), realita di alam selalu berubah, tidak ada yang tetap (api sebagai simbol perubahan di alam) sementara Parmenides (515-440 SM) mengatakan bahwa realita di alam merupakan satu kesatuan yang tidak bergerak sehingga perubahan tidak mungkin terjadi. Pada era Socrates, kajian filosofis mulai menjurus pada manusia dan mulai ada pemikiran bahwa tidak ada kebenaran yang absolut. Beberapa filosof populernya adalah Socrates (479-399 SM), Plato (427-437 SM) dan Aristotles (384-322 SM). Socrates mendefinisikan, menganalisis dan mensintesa kebenaran objektif yang universal melalui metode dialog (dialektika). Satu pertanyaan dijawab dengan satu jawaban. Plato mengembangkan konsep dualisme (adanya bentuk dan persepsi). Ide yang ditangkap oleh pikiran (persepsi) lebih nyata dari objek material (bentuk) yang dilihat indra. Sifat persepsi tidak tetap dan bisa berubah, sementara bentuk adalah sesuatu yang tetap. Aris-totles menyatakan bahwa materi tidak mungkin tanpa bentuk karena ia ada (eksis). Fil-suf ini juga memperkenalkan silogisme, yaitu penggunaan logika berdasarkan analisis bahasa guna menarik kesimpulan. Silogisme memiliki dua premis mayor dan satu ke-simpulan sehingga, suatu pernyataan benar harus sesuai dengan minimal dua pernyataan pendukung. Logika ini disebut juga dengan logika deduktif yang mengukur valid tidak-nya sebuah pemikiran. Pada abad pertengahan (abad 12–13 SM) mulai dilakukan analisis rasional terha-dap sifat-sifat alam dan Allah, analisis suatu kejadian/materi, bentuk, ketidaknampakan, logika dan bahasa. Salah satu filsufnya adalah Thomas Aquinas (1225-1274). 2. Filsafat modern (abad 15 – sekarang) Berkembang beberapa paham yang menguatkan kedudukan humanisme sebagai dasar dalam perkembangan hidup manusia dan pengetahuan. Paham rasionalisme me-nyatakan bahwa akal merupakan alat terpenting untuk memperoleh dan menguji penge-tahuan. Kedaulatan rasio diakui sepenuhnya dengan menyisihkan pengetahuan indra. Menurut Rene Descartes (paham rasionalisme dan skeptisme), pengetahuan yang benar harus berangkat dari kepastian. Untuk memastikan kebenaran sesuatu, segala sesuatu harus diragukan terlebih dahulu. Keragu-raguan membuat manusia bertanya/mencari ja-waban untuk memperoleh kebenaran yang pasti (manusia harus berpikir rasional untuk mencapai kebenaran). Pada paham empirisme, segala sesuatu yang ada dalam pikiran didahului oleh pengalaman indrawi. Pengetahuan dikembangkan dari pengalaman indra secara konkrit dan bukan dari rasio. Menurut John Locke (empirisme dan naturalisme), pikiran awal-nya kosong. Isi pikiran (ide) berasal dari pengalaman indrawi (lahiriah dan batiniah) ter-hadap substansi (benda) di alam. David Hume (skeptisme dan empirisme) mengatakan ide atau konsep didalam pikiran berasal dari persepsi (kesan terhadap pengalaman indra-wi) dan gagasan (konsep makna dari kesan) terhadap suatu substansi, bukan dari substansinya. Sementara menurut Francis Bacon, pengetahuan merupakan kekuatan un-tuk menguasai alam. Pengetahuan diperoleh dengan metode induksi melalui eksperi-men dan observasi terhadap suatu fenomena yang ingin dikaji. Paham lainnya adalah idealisme yang dianut Barkeley: ada disebabkan oleh adanya persepsi; dan paham idealisme – kritisisme yang dikembangkan Imanuel Kant. Menurut Kant, hakikat fisik adalah jiwa (spirit) dan pengetahuan adalah hasil pemikiran yang dihubungkan dengan pengalaman indrawi. Paham ini menggabungkan konsep rasionalisme dengan empiris-me. Paham positive-empiris (Aguste Comte) menyatakan bahwa realita berjalan sesuai dengan hukum alam sehingga pernyataan pengetahuan harus bisa diamati, diulang, diu-kur, diuji dan diramalkan. Sementara paham pragmatisme William James menyatakan kebenaran suatu pernyataan diukur dari kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional (bermanfaat) dalam kehidupan praktis. Pernyataan dianggap benar jika kon-sekuensi dari pernyataan tersebut memiliki kegunaan praktis bagi manusia.
Dalam menghadapi seluruh kenyataan dalam hidupnya, manusia senatiasa terkagum atas apa yang dilihatnya. Manusia ragu-ragu apakah ia tidak ditipu oleh panca-inderanya, dan mulai menyadari keterbatasannya. Dalam situasi itu banyak yang berpaling kepada agama atau kepercayaan Ilahiah.
Tetapi sudah sejak awal sejarah, ternyata sikap iman penuh taqwa itu tidak menahan manusia menggunakan akal budi dan fikirannya untuk mencari tahu apa sebenarnya yang ada dibalik segala kenyataan (realitas) itu. Proses itu mencari tahu itu menghasilkan kesadaran, yang disebut pencerahan. Jika proses itu memiliki ciri-ciri metodis, sistematis dan koheren, dan cara mendapatkannya dapat dipertanggung-jawabkan, maka lahirlah ilmu pengetahuan.
Ø  Klasifikasi Filsafat
Dalam membangun tradisi filsafat banyak orang mengajukan pertanyaan yang sama, menanggapi, dan meneruskan karya-karya pendahulunya sesuai dengan latar belakang budaya, bahasa, bahkan agama tempat tradisi filsafat itu dibangun. Oleh karena itu, filsafat biasa diklasifikasikan menurut daerah geografis dan latar belakang budayanya. Dewasa ini filsafat biasa dibagi menjadi dua kategori besar menurut wilayah dan menurut latar belakang agama. Menurut wilayah bisa dibagi menjadi: “Filsafat Barat”, “Filsafat Timur”, dan “Filsafat Timur Tengah”. Sementara latar belakang agama dibagi menjadi: “Filsafat Islam”, “Filsafat Budha”, “Filsafat Hindu”, dan “Filsafat Kristen”.
1.) Klasifikasi Filsafat Menurut Wilayah
a. Filsafat Barat
‘‘‘Filsafat Barat’’’ adalah ilmu yang biasa dipelajari secara akademis di universitas-universitas di Eropa dan daerah-daerah jajahan mereka. Filsafat ini berkembang dari tradisi falsafi orang Yunani kuno. Namun pada hakikatnya, tradisi falsafi Yunani sebenarnya sempat mengalami pemutusan rantai ketika salinan buku filsafat Aristoteles seperti Isagoge, Categories dan Porphyry telah dimusnahkan oleh pemerintah Romawi bersamaan dengan eksekusi mati terhadap Boethius, yang dianggap telah menyebarkan ajaran yang dilarang oleh negara. Selanjutnya dikatakan bahwa seandainya kitab-kitab terjemahan Boethius menjadi sumber perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan di Eropah, maka John Salisbury, seorang guru besar filsafat di Universitas Paris, tidak akan menyalin kembali buku Organon karangan Aristoteles dari terjemahan-terjemahan berbahasa Arab, yang telah dikerjakan oleh filosof Islam pada dinasti Abbasyah.
Tokoh utama filsafat Barat antara lain Plato, Thomas Aquinas, Réne Descartes, Immanuel Kant, George Hegel, Arthur Schopenhauer, Karl Heinrich Marx, Friedrich Nietzsche, dan Jean-Paul Sartre.
Dalam tradisi filsafat Barat di Indonesia sendiri yang notabene-nya adalah bekas jajahan bangsa Eropa-Belanda, dikenal adanya pembidangan dalam filsafat yang menyangkut tema tertentu. Tema-tema tersebut adalah: ontologi, epistemologi, dan aksiologi.
Tema pertama adalah ontologi. Ontologi membahas tentang masalah “keberadaan” sesuatu yang dapat dilihat dan dibedakan secara empiris (kasat mata), misalnya tentang keberadaan alam semesta, makhluk hidup, atau tata surya.
Tema kedua adalah epistemologi. Epistemologi adalah tema yang mengkaji tentang pengetahuan (episteme secara harafiah berarti “pengetahuan”). Epistemologi membahas berbagai hal tentang pengetahuan seperti batas, sumber, serta kebenaran suatu pengetahuan.
Tema ketiga adalah aksiolgi. Aksiologi yaitu tema yang membahas tentang masalah nilai atau norma sosial yang berlaku pada kehidupan manusia. Nilai sosial .
b. Filsafat Timur
‘‘‘Filsafat Timur’’’ adalah tradisi falsafi yang terutama berkembang di Asia, khususnya di India, Tiongkok dan daerah-daerah lain yang pernah dipengaruhi budayanya. Sebuah ciri khas Filsafat Timur ialah dekatnya hubungan filsafat dengan agama. Meskipun hal ini kurang lebih juga bisa dikatakan untuk Filsafat Barat, terutama di Abad Pertengahan, tetapi di Dunia Barat filsafat ’an sich’ masih lebih menonjol daripada agama. Nama-nama beberapa filsuf Timur, antara lain Siddharta Gautama/Buddha, Bodhidharma, Lao Tse, Kong Hu Cu, Zhuang Zi dan juga Mao Zedong.
‘‘‘Filsafat Timur Tengah’’’ ini sebenarnya mengambil tempat yang istimewa. Sebab dilihat dari sejarah, para filsuf dari tradisi ini sebenarnya bisa dikatakan juga merupakan ahli waris tradisi Filsafat Yunani. Sebab para filsuf Timur Tengah yang pertama-tama adalah orang-orang Arab atau orang-orang Islam dan juga beberapa orang Yahudi, yang menaklukkan daerah-daerah di sekitar Laut Tengah dan menjumpai kebudayaan Yunani dengan tradisi falsafi mereka. Lalu mereka menterjemahkan dan memberikan komentar terhadap karya-karya Yunani.
Bahkan ketika Eropa setalah runtuhnya Kekaisaran Romawi masuk ke Abad Pertengahan dan melupakan karya-karya klasik Yunani, para filsuf Timur Tengah ini mempelajari karya-karya yang sama dan bahkan terjemahan mereka dipelajari lagi oleh orang-orang Eropa. Nama-nama beberapa filsuf Timur Tengah: Avicenna(Ibnu Sina), Ibnu Tufail, Kahlil Gibran (aliran romantisme; kalau boleh disebut bergitu)dan Averroes.
2.) Klasifikasi Filsafat Menurut Latar Belakang Agama
a. Filsafat Islam
‘‘‘Filsafat Islam’’’ bukanlah filsafat Timur Tengah. Bila memang disebut ada beberapa nama Yahudi dan Nasrani dalam filsafat Timur Tengah, dalam filsafat Islam tentu seluruhnya adalah muslim. Ada sejumlah perbedaan besar antara filsafat Islam dengan filsafat lain. Pertama, meski semula filsuf-filsuf muslim klasik menggali kembali karya filsafat Yunani terutama Aristoteles dan Plotinus, namun kemudian menyesuaikannya dengan ajaran Islam. Kedua, Islam adalah agama tauhid. Maka, bila dalam filsafat lain masih ‘mencari Tuhan’, dalam filsafat Islam justru Tuhan ’sudah ditemukan.’
Pada mulanya filsafat berkembang di pesisir samudera Mediterania bagian Timur pada abad ke-6 M yang ditandai dengan pertanyaan-pertanyaan untuk menjawab persoalan seputar alam, manusia, dan Tuhan. Dari sinilah lahirlah sains-sains besar, seperti fisika, etika, matematika, dan metafisika yang menjadi batubara kebudayaan dunia.
Dari Asia Minor (Mediterania) bergerak menuju Athena yang menjadi tanah air filsafat. Ketika Iskandariah didirikan oleh Iskandar Agung pada 332 SM, filsafat mulai merambah dunia timur, dan berpuncak pada 529 M.
b. Filsafat Kristen
‘‘‘Filsafat Kristen’’’ mulanya disusun oleh para bapa gereja untuk menghadapi tantangan zaman di abad pertengahan. Saat itu dunia barat yang Kristen tengah berada dalam zaman kegelapan (dark age). Masyarakat mulai mempertanyakan kembali kepercayaan agamanya. Tak heran, filsafat Kristen banyak berkutat pada masalah ontologis dan filsafat ketuhanan. Hampir semua filsuf Kristen adalah teologian atau ahli masalah agama. Sebagai contoh: Santo Thomas Aquinas, Santo Bonaventura, dan lain sebagainya.
Selain dua agama terbesar diatas, masih ada beberapa agama lainya yang melahirkan pemahaman falsafi yang sampai sekarang masih eksis. Misalnya Budha, Taoisme, dan lain sebagainya.
Buddha dalam bahasa Sansekerta berarti mereka yang sadar, atau yang mencapai pencerahan sejati (Dari perkataan Sansekerta: untuk mengetahui). Budha merupakan gelar kepada individu yang menyadari potensi penuh mereka untuk memajukan diri dan yang berkembang kesadarannya. Dalam penggunaan kontemporer, ia sering digunakan untuk merujuk Siddharta Gautama yang dilahirkan pada tahun 623 SM di Taman Lumbini.
Sidharta adalah guru agama dan pendiri Agama Buddha (dianggap “Buddha bagi waktu ini”). Dalam pandangan lainnya, ia merupakan tarikan dan contoh bagi manusia yang telah sadar.
Penganut Buddha tidak menganggap Siddharta Gautama sebagai sang hyang Buddha pertama atau terakhir. Secara teknis, Buddha, seseorang yang menemukan Dharma atau Dhamma (yang bermaksud: Kebenaran; perkara yang sebenarnya, akal budi, kesulitan keadaan manusia, dan jalan benar kepada kebebasan melalui Kesadaran, datang selepas karma yang bagus (tujuan) dikekalkan seimbang dan semua tindakan buruk tidak mahir ditinggalkan. Pencapaian nirwana (nibbana) di antara ketiga jenis Buddha adalah serupa, tetapi Samma-Sambuddha menekankan lebih kepada kualitas dan usaha dibandingkan dengan dua lainnya.
Taoisme merupakan filsafat Laozi dan Zhuangzi (570 SM ~470 SM) tetapi bukan agama. Taoisme berasalkan dari kata “Dao” yang berarti tidak berbentuk, tidak terlihat tetapi merupakan asas atau jalan atau cara kejadian kesemua benda hidup dan benda-benda alam semesta dunia. Dao yang wujud dalam kesemua benda hidup dan kebendaan adalah “De”. Gabungan Dao dengan De diperkenalkan sebagai Taoisme merupakan asasi alamiah. Taoisme bersifat tenang, tidak berbalah, bersifat lembut seperti air, dan berabadi. Keabadian manusia adalah apabila seseorang mencapai “Kesedaran Dao”. Penganut-penganut Taoisme mempraktekan Dao untuk mencapai “Kesedaran Dao” dan juga mendewakan.

E.   Ruang Lingkup Filsafat Ilmu

Bidang garapan Filsafat Ilmu terutama diarahkan pada komponen-komponen yang menjadi tiang penyangga bagi eksistensi ilmu, yaitu ontologi, epistemologi, dan aksiologi.
Ontologi ilmu meliputi apa hakikat ilmu itu, apa hakikat kebenaran dan kenyataan yang inheren dengan pengetahuan ilmiah, yang tidak terlepas dari persepsi filsafat tentang apa dan bagai­mana (yang) “Ada” itu (being Sein, het zijn). Paham monisme yang terpecah menjadi idealisme atau spiritualisme, Paham dua­lisme, pluralisme dengan berbagai nuansanya, merupakan paham ontologik yang pada akhimya menentukan pendapat bahkan ke­yakinan kita masing?masing mengenai apa dan bagaimana (yang) ada sebagaimana manifestasi kebenaran yang kita cari.
Epistemologi ilmu meliputi sumber, sarana, dan tatacara mengunakan sarana tersebut untuk mencapai pengetahuan (ilmiah). Perbedaan mengenal pilihan landasan ontologik akan dengan sendirinya mengakibatkan perbedaan dalam menentukan sarana yang akan kita pilih. Akal (Verstand), akal budi (Vernunft) pengalaman, atau komunikasi antara akal dan pengalaman, intuisi, merupakan sarana yang dimaksud dalam epistemologik, sehingga dikenal adanya model?model epistemologik seperti: rasionalisme, empirisme, kritisisme atau rasionalisme kritis, positivisme, feno­menologi dengan berbagai variasinya. Ditunjukkan pula bagai­mana kelebihan dan kelemahan sesuatu model epistemologik be­serta tolok ukurnya bagi pengetahuan (ilmiah) itu seped teori ko­herensi, korespondesi, pragmatis, dan teori intersubjektif.
Akslologi llmu meliputi nilai-nilal (values) yang bersifat normatif dalam pemberian makna terhadap kebenaran atau ke­nyataan sebagaimana kita jumpai dalam kehidupan kita yang menjelajahi berbagai kawasan, seperti kawasan sosial, kawasansimbolik atau pun fisik?material. Lebih dari itu nilai?nilai juga ditunjukkan oleh aksiologi ini sebagai suatu conditio sine qua non yang wajib dipatuhi dalam kegiatan kita, baik dalam melakukan penelitian maupun di dalam menerapkan ilmu.
Dalam perkembangannya Filsafat llmu juga mengarahkan pandangannya pada Strategi Pengembangan ilmu, yang menyangkut etik dan heuristik. Bahkan sampal pada dimensi ke­budayaan untuk menangkap tidak saja kegunaan atau keman­faatan ilmu, tetapi juga arti maknanya bagi kehidupan.
v  Epistemologi
Epistemologi derivasinya dari bahasa Yunani yang berarti teori ilmu pengetahuan. Epistemologi merupakan gabungan dua kalimat episteme, pengetahuan; dan logos, theory. Epistemologi adalah cabang ilmu filasafat yang menengarai masalah-masalah filosofikal yang mengitari teori ilmu pengetahuan. Epistemologi bertalian dengan definisi dan konsep-konsep ilmu, ragam ilmu yang bersifat nisbi dan niscaya, dan relasi eksak antara ‘alim (subjek) dan ma’lum (objek). Atau dengan kata lain, epistemologi adalah bagian filsafat yang meneliti asal-usul, asumsi dasar, sifat-sifat, dan bagaimana memperoleh pengetahuan menjadi penentu penting dalam menentukan sebuah model filsafat. Dengan pengertian ini epistemologi tentu saja menentukan karakter pengetahuan, bahkan menentukan “kebenaran” macam apa yang dianggap patut diterima dan apa yang patut ditolak. Bila Kumpulan pengetahuan yang benar/episteme/diklasifikasi, disusun sitematis dengan metode yang benar dapat menjadi epistemologi. Aspek epistemologi adalah kebenaran fakta / kenyataan dari sudut pandang mengapa dan bagaimana fakta itu benar yang dapat diverifikasi atau dibuktikan kembali kebenarannya.
Dengan memperhatikan definisi epistemologi, bisa dikatakan bahwa tema dan pokok pengkajian epistemologi ialah ilmu, makrifat dan pengetahuan. Dalam hal ini, dua poin penting akan dijelaskan:
1.      Cakupan pokok bahasan, yakni apakah subyek epistemologi adalah ilmu secara umum atau ilmu dalam pengertian khusus seperti ilmu hushûlî. Ilmu itu sendiri memiliki istilah yang berbeda dan setiap istilah menunjukkan batasan dari ilmu itu.
2.      Sudut pembahasan, yakni apabila subyek epistemologi adalah ilmu dan  makrifat, maka dari sudut mana subyek ini dibahas, karena ilmu dan makrifat  juga dikaji dalam ontologi, logika, dan psikologi. Dalam epistemologi akan dikaji kesesuaian dan probabilitas pengetahuan, pembagian dan observasi  ilmu, dan batasan-batasan pengetahuan. Dan dari sisi ini, ilmu hushûlî dan   ilmu hudhûrî juga akan menjadi pokok-pokok pembahasannya. Dengan demikian, ilmu yang diartikan sebagai keumuman penyingkapan dan pengindraan adalah bisa dijadikan sebagai subyek dalam epistemologi.            
Dengan demikian, definisi epistemologi adalah suatu cabang dari filsafat yang mengkaji dan membahas tentang batasan, dasar dan pondasi, alat, tolok ukur, keabsahan, validitas, dan kebenaran ilmu, makrifat, dan pengetahuan manusia.
v  Ontologi
Ontologi membahas tentang yang ada, yang tidak terikat oleh satu perwujudan tertentu. Ontologi membahas tentang yang ada yang universal, menampilkan pemikiran semesta universal. Ontologi berupaya mencari inti yang termuat dalam setiap kenyataan, atau dalam rumusan Lorens Bagus; menjelaskan yang ada yang meliputi semua realitas dalam semua bentuknya.
Objek formal ontologi adalah hakikat seluruh realitas. Bagi pendekatan kuantitatif, realitas tampil dalam kuantitas atau jumlah, tealaahnya akan menjadi kualitatif, realitas akan tampil menjadi aliran-aliran materialisme, idealisme, naturalisme, atau hylomorphisme. Natural ontologik akan diuraikan di belakang hylomorphisme di ketengahkan pertama oleh aristoteles dalam bukunya De Anima. Dalam tafsiran-tafsiran para ahli selanjutnya di pahami sebagai upaya mencari alternatif bukan dualisme, tetapi menampilkan aspek materialisme dari mental.
Lorens Bagus memperkenalkan tiga tingkatan abstraksi dalam ontologi, yaitu : abstraksi fisik, abstraksi bentuk, dan abstraksi metaphisik. Abstraksi fisik menampilkan keseluruhan sifat khas sesuatu objek; sedangkan abstraksi bentuk mendeskripsikan sifat umum yang menjadi cirri semua sesuatu yang sejenis. Abstraksi metaphisik mengetangahkan prinsip umum yang menjadi dasar dari semua realitas. Abstraksi yang dijangkau oleh ontologi adalah abstraksi metaphisik. Sedangkan metode pembuktian dalam ontologi oleh Laurens Bagus di bedakan menjadi dua, yaitu : pembuktian a priori dan pembuktian a posteriori.
Dengan demikian Ontologi Ilmu (dimensi ontologi Ilmu) adalah Ilmu yang mengkaji wujud  (being) dalam  perspektif ilmu — ontologi ilmu dapat dimaknai sebagai teori tentang wujud dalam perspektif objek materil ke-Ilmuan, konsep-konsep penting yang diasumsikan oleh ilmu ditelaah secara kritis dalam ontologi ilmu.
Ontologi adalah hakikat yang Ada (being, sein) yang merupakan asumsi dasar bagi apa yang disebut sebagai kenyataan dan kebenaran.
v  Aksiologi
n  Axios   =  Nilai (Value)
n  Logi     =  Ilmu
n  Axiologi adalah ilmu yang mengkaji tentang nilai-nilai.
Axiologi (teori tentang nilai) sebagai filsafat yang membahas apa kegunaan ilmu pengetahu manusia
Aksiologi menjawab, untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu di pergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral?
Dengan demikian Aksiologi adalah nilai-nilai (value) sebagai tolok ukur kebenaran (ilmiah), etik, dan moral sebagai dasar normative dalam penelitian dan penggalian, serta penerapan ilmu (Wibisono, 2001)





Tidak ada komentar:

Posting Komentar