Sabtu, 08 Oktober 2011

ANALSIS WACANA KRITIS


ALUR MATERI

Pengertian
Analisa adalah pengematan terhadap sesuatu objek dengan menggunakan kerangka berbikir yang rasional.
Analisis bersifat menganlisa yang merupakan kata kerja aktif.
Wacana adalah suatu objek masalah yang merupakan bahan deskripsi (pembicaraan), baik berupa objek social, budayaan, ekonomi, dan politik, maupun hal – hal yang berhubungan dengan khalayak banyak (masyarakat).
Kritis adalah sikap skeptis terhadap suatu objek.

Perbedaan antara Wacana dan Gosip.
Wacana menyangkut khalayak banyak sedang Gosip bersifat parsial.
Wacana realita yang terjadi sedang Gosip belum tentu realita.
Wacana melalui kerangka berfikir rasional sedang Gosip melalu kerangka berfikir asal-asalan. dll

Untuk dapat menganalisa dengan benar kita harus terlebih dahulu mengerti dan terhidar terhadap kesalahan-kesalahan berfikir (intellectual cul-de-sac).
Secara umum intellectual cul-de-sac terbagi atas:

  1. Fallacy of Dramatic Instance. Kesalahan berfikir ini berawal dari kecenderungan orang untuk melakukan apa yang dikenal dengan over generalization. Yaitu, mengambil kesimpulan dari satu dua kasus untuk mengambil sebuah kesimpulan yang bersifat general atau umum.
  2. Fallacy of Retrospective Determinism. Hal ini merupakan konsep pemikiran dari kaum jabaria atau yang lebih dikenal dengan kaum determinis, dimana menganggap segala sesuatu yang ada pada saat ini merupakan suatu hal yang secara histories  memang selalua ada, merupakan takdir yang tidak bias dihindari, dan merupakan akibat dari sejarah yang cukup panjang. Determinism selalu saja lebih memperhitungkan masa lalu ketimbang masa mendatang.
  3. Post Hoc Ergo Propter Hoc. Istilah ini yang bersal dari bahasa latin: post  artinya sesudah; hoc artinya demikian; ergo artinya karena itu; propter artinya disebabkan; dan hoc artinya demikian. Singkatnya: sesudah itu- karena itu- oleh sebab itu.
  4. Fallacy of Misplaced Concretness. Misplaced berarti salah letak. Concretness artinya kekonkretan. Jadi, kesalahan berpikir ini muncul karena kita mengkonkretkan sesuatu yang pada hakikatnya abstrak. Misalanya, mengapa orang islam secara ekonomi dan politik lemah? Mengapa kita tidak bias menjalankan syariat Islam dengan baik? Lalu ada orang menjawab: “Kita hancur karena kita berada pada satu system jahiliyah. Kita hancur karena ada thaghut  yang berkuasa. “Tetapi, system jahiliyah dan thaghut itu adalah dua hal yang abstarak. Sehingga jika jawabanya seperti itu, lalu apa yang bisa kita lakukan? Kita harus mengubah system! Tetapi, “ siapa “ system itu? Sistem yang abstrak itu kita pandang sebagai suatu yang konkret.
  5. Argumentum ad Verecundiam. Berargumentasi dengan menggunakan otoritas tertentu, walaupun otoritas itu tidak relevan atau ambigu. Seorang dosen menggunakan otoritasnyanya guna mendotrin maba untuk tidak terlibat organisais kemahasiswaan bahwa organisais kemahaswaan itu tidak penting karena kita tidak digaji hanya mencari cape saja, dalam artian orang yang percaya dengan argumentasi dosen tersebut karena yang menyampaikan argumentasi itu adalah dosen pasti benar, maka orang tersebut telah terjebak dengan kesalahan berfikir argumentum ad verecundiam.
  6. Circular Reasoning. Circular Reasoning artinya pemikiran yang berputar-putar; menggunakan konklusi (kesimpulan) untuk mendukung asumsi yang digunakan lagi untuk menuju konklusi semula.

Tehnik-tehnik dalam menganalisa.
  1. Dengan analisis 5W+H
  1. What = apa
  2. When = kapan
  3. Where = dimana
  4. Why = mengapa
  5. Who = siapa
  6. How = bagaimana

  1. Dengan analisis SWOT
  1. Strong = Kekuatan
  2. Weakness = Kelemahan
  3. Opportunity = Hambatan/Ancaman
  4. T                   = Peluang 

  1. Dengan Brain Storming
  1. Apa realitas yang terjadi.
  2. Kumpulkan data/fakta sebanyak-banyaknya.
  3. Apa/Bagaimana solusinya.

  1. Dengan scenario Building
  1. Apa-apa yang harus dilakukan Sebelum terjadi.
  2. Apa-apa yang harus dilakukan Sesudah terjadi.



MATERI ANALISA WACANA


Tiada ilmu lebih baik dari hasil tafakkur
( Ali bin Abi Thalib , Nahjul Balaghah )

DASAR FALSAFAH

Esensi paling orisinil seorang makhluk adalah kamampuan berpikirnya. Bahkan sejak ia lahir, misal menangis sekalipun tidak lain adalah bentuk-bentuk aktifitas kesadaran berpikir, yang memang meskipun masih dalam tingkatan rendah. Tugas manusia atau makhluk apapun di dunia ini, yakni menjaga sisi-sisi fitrawi kita sebagai makhluk yang berpikir. Al-insan al-hayawan an- natiq. Orang yang sengaja tidak menjaga potensi fitrawinya ditulis  dalam Alqur’an  sebagai seekor binatang yang buruk bahkan lebih buruk dari itu, disebabkan mereka tidak menggunakan mata mereka untuk mengamati, hati untuk meresa, telinga untuk mendengar  singkatnya mereka tidak menggunakan akal mereka

Menurut Arkoun dalam kajian pemikiran kita biasanya terbagi menjadi dua ; Wilayah thinkable (seseuatu yang bisa dan biasa dipikirkan) dan Wilayah Unthinkable (sesuatu yang  tidak biasa kita pikirkan). Pada point terakhir, mungkin kita merasa takut atau merasa asing atau bahkan kita siap memasang kuda-kuda terhadap apapun yang tidak biasa kita pikirkan. Kita cenderung menutup diri atau menghindar terhadap semua hal yang ‘diluar’ pemikiran kita. Salah satu ciri apatisme di wilayah unthinkable adalah tiba-tiba dalam diri muncul sikap fanatik dan tidak empati pada sesuatu yang dianggap baru tersebut.
Keyakinan seseorang muncul dari hasil tafakkur. Tafakkur terjadi ketika kita merasa ragu terhadap suatu hal lalu mencoba melakukan verifikasi. Verifikasi digunakan sebagai alat memilah-milah kebenaran dan kesalahan, kemudian kita menghadapi problem alat verifikasi seperti apa yang menjamin kebenaran ini ..? Siapa yang menjamin bahwa alat verifikasi ini benar adanya..? lalu bukankah alat verifikasi ini masih membutuhkan verifikasi lain yang menunjang kebenarannya…?. Jadilah petualangan intelektual kita semakin asyik dan sedikit membingungkan. Dengan kata lain, keyakinan itu didapat dulu dari dari keraguan. Jawaban diperoleh dari berbagai pertanyaan dan ketetapan itu diperoleh dari kebimbangan.
Pertanyaan mendasarnya adalah Kita mulai dari mana  ? …. Sebenarnya kita dapat memulainya kapan saja dan dari mana saja kita maui, yang jelas harus ada niat tulus dalam hati untuk tidak membidas keraguan. Kita tidak perlu merasa malu untuk bertanya, tak perlu takut akan suatu aliran sesat ini atau itu atau membaca “buku-buku asing“ yang menghasut dan dianggap tidak sesuai dengan  tradisi pemikiran kita. Kita tidak perlu mengeluarkan energi terlalu banyak pada rasa takut biarlah sejarah dan logika yang mengukuhkanya.
Karena hakikat kebenaran adalah proses mencari bukan sesuatu yang final. Kebenaran Mutlak-Abstrak hanyalah milik Allah SWT, oleh karenanya muncul multi interpretasi. Tugas kita mencari jejak-jejak petunjuk yang datangnya dari Allah SWT. Komitmen tauhid yang kita miliki mengharuskan untuk bebas melakukan uji coba dan meragukan ala Cogito-an. Mungkin disinilah hidup ini jadi lebih bersemangat.
KORELASI DENGAN MAHASISWA
Menyandang status kemahasiswaan tidaklah mudah. Sebab ketika status mahasiswa ada dalam diri kita maka secara otomatis melekat padanya label-label. Label-label dapat diartikan serangkaian penamaan, atribut, gagasan dan identitas diri yang inheren dalam suatu individu. Tanpa memiliki label, eksistensi makhluk akan hilang arahnya.
Seorang mahasiswa yang sadar akan tugasnya, Dia tak akan menyia-nyiakan waktu dan umurnya. Setiap aktivitas intelektual yang ia kerjakan pastilah bisa membawa pengaruh baik bagi dirinya lebih-lebih bagi masyarakat nantinya. Sebab bagi mahasiswa, perubahan zaman harus direspon. Tidak bisa ditolak ataupun direkayasa. Terlepas apakah zaman itu, menurutnya, menuju pada perbaikan, lebih-lebih kemunduran….
ANALISA WACANA BARAT :
Barat disatu sisi adalah tantangan kita. Realitas barat bertentangan dengan realitas kontemporer kita. Teori-teori Barat melalui methode rethorisme dan kesombongan ilmiahnya tidak ada relevansinya dengan kebutuhan kita.
Barat adalah simbol kemajuan peradaban yang sekularis-materialis. Suatu simbolteknologis –saintifik yang tercerabut dari akar-akar spiritualitas. Jiwa mereka terpecah-pecah (an-Nafs al- Mujarrad) karena mereka menghilangkan peranan agama dalam kehidupan.
Setiap kali mereka berbicara, dengan sepihak, menamakan diri sebagai entitas peradaban maju. Superioritasnya selalu menyertai setiap sisi kehidupan kita dan kenyataan ini semakin diperparah dari sebagian kita yang membantu internasionalisasi peradaban Barat, kita secara tidak langsung turut mempopulerkan Barat lewat pola kehidupan kita sehari-hari
ANALISA WACANA TRADISIONAL
Di sisi lain, kita juga mewarisi Agama dalam bentuk paket-paket tradisi lama. Bahkan semua paket-paket siap pakai, tinggal membuka dan mengkonsumsinya saja. Didalam paket-paket itu kerapkali di kemas dengan mitos-mitos menipu.
Tradisi yang dimaksudkan disini adalah warisan nenek moyang kita. Suatu bentuk kehidupan dan pemahaman yang rigid-jumud, penuh dengan tindak-tindak irrasionalitas dan kadang kekerasan.
 Kita cukup sulit menentukan sikap frontal karena warrisan semacam ini sudah berbentuk lembaga-lembaga masyarakat dan di topang oleh para penjaga-penjaga tradisi yang siap pedang ditangan. Akibatnya Warisan leluhur kita nyaris tanpa sikap kritik dan tidak peduli terhadap realitas kekinian.
Meskipun begitu, ada segelintir manusia yang sadar kedua pola itu. Mereka mengelompok sendiri-sendiri, berdiri ditengah-tengah antara dua kutub modernitas Barat dan tradisi masa lalu.
Bagi mereka, berpihak pada salah satu kutub dan membela pemikiran mereka bukanlah cara yang tepat untuk memecahkan masalah mendasar umat. Mereka  di sebut ‘ Rausyan Fikr ‘ mereka membuat langkah-langkah raksasa yang cepat kedepan.
Saat orang ditanya, apa ideologi anda ? Mungkin anda menjawab ; Ideologi saya tidak Barat dan tidak Timur. Tengah-tengah saja. Ideologi saya liberalisme Atau ada yang menjawab ; Ideologi saya Alquran dan al Hadits. Pada jawaban seperti ini tidak bisa menyadarkan anda, menumbuhkan ide-ide kritis dan pada akhirnya belum dapat mengerakkan masyarakat. Perlu penafsiran filosofis tentangnya dari segi epistemologi dan aksiologis

ANALISIS WACANA
ANALISIS wacana muncul sebagai suatu pendekatan ilmu-ilmu sosial sekurang-kurangnya dalam sepuluh tahun terakhir. Sampai tingkat tertentu, dia merupakan penerapan praktis dari apa yang dikenal sebagai epistemologi dalam studi filsafat. Pertanyaan yang diajukan bukanlah mengenai apa yang sesungguhnya terjadi, melainkan justru mengenai bagaimana orang memandang apa yang terjadi, dan mengapa pula dia memandang kejadian tersebut dalam perspektif yang satu dan bukannya dalam perspektif lainnya.
Dalam arti itu, analisis wacana (discourse analysis) tidak terlalu mempersoalkan apakah benar Dr. Syahril Sabirin, misalnya, telah ditawari berbagai jabatan lain oleh Presiden Gus Dur kalau saja dia bersedia mundur dari jabatannya sebagai Gubernur BI. Yang dipersoalkan adalah apakah seorang presiden yang telah mengetahui kesalahan seorang pejabat tinggi (yang menurut pertimbangan presiden merupakan alasan cukup untuk memecatnya) dapat dan boleh menawarkan jabatan lain kepada pejabat tinggi tersebut sebagai substitusi bagi pengunduran dirinya dari jabatannya. Taruhlah hal itu, misalnya, dilakukan Presiden Gus Dur demi alasan kemanusiaan agar yang bersangkutan jangan terlalu kehilangan muka, seorang analis wacana masih akan tetap bertanya apakah tindakan menawarkan jabatan lain tersebut merupakan tindakan yang dapat dibenarkan?
Apakah manusiawi kalau setiap orang yang telah melakukan kejahatan tidak diberi hukuman yang pantas menurut hukum, tetapi dicoba disembunyikan kesalahannya agar dia tidak kehilangan muka? Bukankah lebih manusiawi menghukum seseorang yang bersalah, supaya kesalahan yang sama tidak terulang pada pejabat lainnya dan masyarakat umum mendapat pegangan mengenai apa yang dimaksud dengan clean government ?
Kalau logika itu diteruskan, pada akhirnya seorang pembunuh tidak usah dihukum asal saja dia mengakui perbuatannya dan kemudian meminta maaf. Pada titik itu, keadilan telah diabaikan karena yang menjadi perhatian dan yang diselamatkan adalah pihak pembunuhnya, sedangkan pihak yang mengalami pembunuhan itu sama sekali tidak dijamin haknya dan tidak dipulihkan kerugiannya kecuali cuma dengan permintaan maaf dari si pembunuh.
Dengan demikian, analisis wacana menekankan bahwa setiap tindakan politik dapat didiskusikan pada sekurang-kurangnya dua tingkat, yaitu pada tingkat empiris (sebagai suatu matter of fact ) dan pada tingkat normatif (sebagai suatu matter of principle ). Hal ini penting karena tindakan politik yang tidak dibimbing oleh prinsip-prinsip politik yang eksplisit dapat menjadi self-justifying political action karena dia dapat menciptakan tujuan baru yang akan selalu membenarkannya.
Contoh yang ilustratif dalam kaitan ini adalah prinsip "subsidiaritas" (" subsidiarity" principle) dalam hubungan antaranegara dan masyarakat. Prinsip ini mengatakan, negara tidak perlu mencampuri urusan-urusan yang dapat diatur sendiri oleh masyarakat. Akan tetapi, pada saat masyarakat tidak sanggup lagi mengatasi soal yang dihadapinya, negara wajib campur-tangan secara aktif, apalagi kalau masyarakat sendiri mengajukan permintaan kepada negara untuk membantu menyelesaikan masalah mereka.
Kasus Ambon, misalnya, semakin hari semakin berkembang menjadi tragedi kemanusiaan (dan bukan hanya tragedi nasional). Kalau tidak segera dihentikan, dia dapat mengalami eskalasi menjadi crime against humanity yang mungkin sekali akan membuat intervensi internasional menjadi tak terelakkan, apa pun retorika yang diajukan mengenai kedaulatan nasional.
Memang, pada mulanya pemerintah dapat berkata bahwa masalah konflik dan kekerasan di Ambon harus diselesaikan oleh masyarakat Ambon sendiri. Akan tetapi, pada saat masyarakat tidak sanggup lagi mengatasinya, sementara pembunuhan berjalan terus dengan tingkat irasionalitas yang absurd, pemerintah berwajib mengembalikan keamanan dan ketertiban di sana.
Tentu saja masalahnya amat kompleks dan tidak bisa dihadapi dengan simplifikasi yang berlebihan. Meskipun demikian, kompleksitas masalah tidak dapat memberi hak kepada pemerintah atau kepada siapa pun untuk terus membiarkan terjadinya pembunuhan. Rumah sakit Ambon sudah hancur terbakar, dan harapan terakhir untuk orang-orang yang luka-parah dan terancam hidupnya sudah menghilang bersama asap api.
Ada beberapa tingkat soal di sana, seperti masalah konflik politik, khususnya konflik elite politik, dendam antara kelompok agama yang anggota keluarganya sudah terbunuh, serta konflik yang mungkin berasal dari ketidakseimbangan penguasaan ekonomi yang muncul ke permukaan sebagai konflik antaragama. Soal-soal itu dapat diselesaikan pada beberapa tingkat.
Apa yang belum dapat diselesaikan memang harus menunggu waktu (seperti perdamaian kembali antara keluarga dan komunitas agama). Akan tetapi, apa yang dapat diselesaikan sekarang harus diselesaikan secepatnya. Masalah bunuh-membunuh adalah soal yang dapat ditangani oleh pemerintah dengan aparatus represifnya (dan untuk itulah negara diberi wewenang untuk memonopoli penggunaan kekerasan). Masalah hak asasi manusia tidak bisa menjadi dalih bahwa polisi, dengan bantuan militer, tidak melakukan intervensi langsung untuk menghentikan pembunuhan. Hak warga negara untuk hidup merupakan hak asasi pertama yang harus dibela. Dan kalau hak itu terancam oleh orang lain, negara diwajibkan membela mereka yang terancam dan menindak mereka yang mengancam. Prinsip ini demikian jelasnya, walaupun dalam praktek mungkin mengalami komplikasi.
Pemberlakuan keadaan darurat sipil merupakan tindakan yang amat terlambat karena wacana yang dikembangkan di Jakarta tidak mendukung penyelesaian. Anggapan bahwa masyarakat Ambon sendirilah yang harus menyelesaikan soal mereka terdengar seperti sangat demokratis, tetapi sebetulnya mengabaikan tugas pokok negara sebagai penjaga ketertiban umum dan pelindung hak atas kehidupan para warganya.
Adalah jelas bahwa masyarakat Ambon sudah lumpuh sama sekali, baik pada tingkat kesadaran maupun tingkat organisasi sosialnya. Pengandaian bahwa kekacauan telah timbul karena ulah provokator tidak bisa dijadikan kesibukan diskusi politik saja. Mengapa yang diributkan justru kelihaian para provokator dan bukannya getirnya nasib rakyat dan masyarakat Ambon yang semakin hari semakin terlunta-lunta (dan karena itu semakin mudah diprovokasi dari hari ke hari)? Mengapa mereka tidak diberi hak untuk sedikit berharap atas perlindungan negara? Kebingungan kita rupanya sudah berkembang luas karena wacana politik mengenai kasus Ambon ini tidak pernah diuji secara serius dalam suatu analisis wacana.
Demikian pula persoalan hak interpelasi DPR dapat ditempatkan dalam analisis wacana yang sama. Persoalannya bukanlah apakah DPR dapat memakai hak tersebut atau tidak (karena hak tersebut dijamin oleh undang-undang), melainkan apakah pencopotan dua orang menteri (Laksamana Sukardi dan Jusuf Kalla) dapat menjadi alasan cukup bagi DPR untuk menggunakan hak tersebut. Mengapa DPR tidak memakai hak tersebut untuk menanyakan kepada pemerintah mengapa masalah Ambon menjadi demikian berlarut-larut dan tidak dapat diatasi pada tingkat tertentu? Apakah yang akan dipersoalkan wewenang presiden untuk memecat kedua menteri tersebut ataukah tingkat kelayakan alasan presiden dalam memecat mereka?
Pertanyaan pertama bersifat formal-legal dan jawabannya sudah jelas pula, yaitu hak prerogatif untuk memilih dan mengganti menteri-menteri yang membantunya. Pertanyaan kedua menyangkut kebijakan politik, yaitu mengapa gerangan presiden merasa perlu memakai hak prerogatif tersebut, dan mengapa pula justru kedua menteri tersebut yang menjadi sasaran hak prerogatifnya.
Dalam analisis wacana akan segera terlihat kecenderungan dalam penggunaan hak interpelasi ini. Pertama, politisi kita ternyata lebih peka terhadap persoalan yang menyangkut elite politik (dua orang menteri) daripada persoalan yang menyangkut rakyat banyak (masyarakat Ambon). Kedua, politisi kita ternyata lebih peka terhadap masalah politik yang menyangkut anggota partai mereka daripada yang menyangkut kepentingan umum. Politik Indonesia tetap saja elitis dan eksklusif dalam orientasinya, dan tiadanya analisis wacana akan menyebabkan konstruksi elitis dari politik ini akan tetap dilestarikan. Rakyat hanya menjadi bahagian dari suatu nomenklatur dalam bahasa politik, tetapi praktis tersingkir dari wacana, sambil dibiarkan ditelan bencana

Tidak ada komentar:

Posting Komentar